Mengikat Janji (2)

13.6K 2.5K 152
                                    

“Sabar dong, Kak!”  Mia tersenyum usai mendengar curhatanku tentang kakak laki-lakinya yang marah-marah tak keruan itu.

Tangannya mengulurkan sekotak tisu, calon adik iparku ini emang paling pengertian, tidak kayak kakaknya yang nyebelin dan bego itu uhhh!

Eh! Udah dosa belum sih kalo menghina calon suami sendiri? Tapi Aziz emang ngeselin banget, kenapa sih dia tidak bisa sabar, selalu aja arah pikirannya ke hal-hal yang negatif. Aku mencebikkan bibir dengan frustrasi.

“Ayo dong, Kak! Pasang seatbelt-nya geh!” suruh Mia tidak sabar. Aku mengangguk dan mengikuti permintaannya, dan dalam satu detik aja dia sudah melarikan mobil meninggalkan tempat di mana dia menjemputku.

Pelarianku ini memang hanya segelintir orang yang tahu. Selain Mia yang memang sudah kuajak rundingan ngebantuin kabur, Rian yang berhasil melacak jejak ku setelah berhasil meretas data boarding passenger milik maskapai yang kupakai untuk kabur bersedia menutup mulutnya setelah beberapa ancaman kukeluarkan secara cuma-cuma.

Rian yang berhasil diatasi dan Mia yang menyiapkan semuanya untukku tanpa sepengetahuan keluarga besar kami yang lain membuat pelarianku sukses sampai setengah jalan, jika saja ... Ah ngeselin!!

“Kita langsung pulang ya, Kak?” tanyanya padaku, “atau Kakak mau mampir ke hotel dulu, biar bisa ketemuan sama Pun?”

“Nggak!! Aku sebel sama dia.”

“Hi ... hi ... yakin deh, kalau ditanya sama Pun Aziz sekarang, dia pasti bakal jawab gitu juga. Kalian pasangan yang unch unch banget deh.”  Calon adik iparku ini malah cekikikan melihat wajah menderitaku ini, uhhh.

“Jangan berantem dong, harus ada satu yang ngalah, kalau berantem kan percuma aja Kak Ira kabur-kaburan demi mempersiapkan kejutan buat Pun Aziz. Jadi enggak berguna kan!?” katanya lagi sambil mengerling penuh arti.

Godaan yang sukses membuatku merasakan betapa panasnya wajahku sekarang. Aku menghela napas lesu saat memikirkan apa yang dikatakan oleh Mia, tentang kemungkinan kejutan dariku yang tidak akan berjalan mulus.

Esok malam mungkin aku dan Aziz bakal menghabiskannya dengan perang dingin bukannya perang anget seperti yang aku harapkan dari jauh-jauh hari. Oh no! Aku harus atur strategi baru supaya itu tidak terjadi. Biar bagaimanapun aku harus bisa memperjakai Aziz besok malam.

Yeah! Itu tekadku. Tapi segala lamunan jorokku terhenti saat, melihat Mia membelokkan mobil di depan pintu masuk kompleks perumahan orangtuaku.

“Turun di sini aja ya Kak, di depan rame kayaknya.” Katanya seraya mengintip jalan di depan blok menuju rumah.

Di antara tenda-tenda tinggi yang sudah di dirikan untuk persiapan menampung tamu saat akad nikah besok aku melihat Kak Ridho, Kak Rayyan juga Papa yang berdiri gelisah memandang ke sana kemari. Oh, No!

Aku mengangguk pada Mia kemudian memintanya mundur sedikit ke belakang supaya aku bisa turun tanpa sepengetahuan keluarga, terutama Papa dan lima saudara lelaki yang super protektif dan punya kecenderung lolita-komplek.

Sepeninggalan Mia aku melangkah mengendap-endap melewati jalan pintas yang tembus ke halaman samping rumah, di sana ada pintu tembus yang terhubung dengan gudang penyimpanan barang bekas.
Aku menghembuskan napas lega saat sudah berada di depan paviliun kamar Rayyi, Kakak cowok yang usianya hanya beda enam tahun dariku, baru saja aku hendak memanjat tangga darurat yang terhubung ke balkon kamarku saat tarikan keras pada tunik yang kukenakan membuatku terjatuh ke lantai.

“Aw!” aku merintih kesakitan, kemudian justru terperangah saat tatapan enam pasang mata tertuju menatapku dengan tingkat keganasan yang hanya di miliki Singa lapar.

“Eh! M-mama ... P-papa ....” Aku menatap kecut pada Ridho, Rean, Rayyi, dan Rayyan yang tertuju padaku, kalau Rian muncul sudah lengkaplah penderitaan ini.

“Kamu!” Mama baru saja hendak memulai dampratannya padaku saat dengan terburu-buru kulihat Kak Risma masuk dengan ponsel di tangan.

“Pa, Ma ...,” panggilnya dengan wajah panik, “ini dari rumah sakit.” Dia menghentikan kalimatnya sekadar untuk menatapku geram sambil menghela napas dan geleng-gelang kepala, kemudian dia kembali menatap pada Papa dan Mama yang sudah menunggu penjelasan lanjutan. “Aziz masuk UGD.”

Aku terkesiap sambil menutup mulutku tidak percaya. Tubuhku goyah tak bertenaga, dalam hitungan detik aku merosot jatuh ke lantai.

“Kamu dengar itu, Reira!" Bentak Papa dingin. "Sekarang masuk ke kamar dan renungkan apa yang sudah kamu lakukan.” Dengan tegas Papa mengacungkan jari telunjuknya ke arahku, tatapan matanya saat memandang demikian menakutkan, seakan aku mendadak jadi musuh bagi Papaku sendiri.

Seumur hidup, baru satu kali ini saja kulihat Papa begitu murka padaku, putri satu-satunya dalam keluarga Ilham. “Rayyan, Rayyi, antar Ira ke kamar.”

Ketegasan Papa membuatku sadar betapa seriusnya masalah yang telah aku timbulkan, aku menangis keras saat memikirkan konsekuensi yang harus kutanggung sekarang. Calon suamiku masuk rumah sakit, lalu bagaimana nasib pernikahan ini?

“Pa, Ira mau ikut lihat Pun Aziz.” Di antara isak tangis aku merengek pada kedua orang tuaku.

“Dan bikin dia lebih emosional lalu tambah sakit,” desis Papa menahan kesal, “Ma ayo kita siap-siap, kita harus minta maaf sama keluarga Syah Iskandar. Kita juga harus siap menerima resiko jika pernikahan ini mereka batalkan.”

Aku tergugu mendengar kata-kata itu. Dibatalkan! Pernikahanku di batalkan! Pernikahan dengan lelaki yang .... Aku tidak tahan lagi, derai air mataku tumpah semakin deras, suara isakku berubah bukan lagi sekadar tangis melainkan jadi raungan penyesalan yang tidak terucap.

Aku tidak dapat percaya dengan apa yang kudengar, tidak pernah terbayangkan jika hasil dari perbuatan kabur itu akan membuahkan akibat yang sangat besar.

Rayyan dan Rayyi mendekatiku, mulanya dua kakakku itu memelukku dari belakang berusaha menenangkan dan membujuk agar aku patuh sama perintah Papa, tapi saat mereka mulai membimbingku melangkah menaiki tangga menuju ke kamar, aku langsung memberontak. Menolak.

Aku mendengar bisik penyesalan Rayyi saat ia menelikung lenganku dan dengan penuh paksaan kemudian menyeret aku sampai ke kamar di lantai dua.

Pintu kamar kemudian di kunci dari luar, dan meski berkali-kali kuteriakkan permohonan agar aku dikeluarkan. Mereka sama sekali tidak membukakannya untukku. Aku tahu itu tidak berguna, baik Rayyi atau Rayyan tidak akan bergeming dengan keputusan yang Papa tetapkan untukku.

Sepanjang malam aku menangis dan menangis, baru setelah tangisku mereda dan pikiranku mulai jernih aku terpikir untuk menghubungi calon suamiku.

Namun sampai lewat tengah malam ponsel Aziz tidak kunjung diaktifkan, dalam lelah emosi aku tertidur sambil terus terisak di atas ranjang pengantin yang sudah ditata apik oleh penghias dekorasi pengantin.

TBC

Si jail kena batunya kaaaan ... Pada puas gak yang bacaaa?? 😁😁

Jangan lupaaa vote n komennya yaaa makin semangat makin cepet pula mamak ini unggah2.

Vanila love puasa dulu yaah aku blm sempet mindahin ke Hp buat diedit, lagian editnya kayaknya bakal banyak banget sih 😒😒 baru buka worksheetnya aja aku udah keburu lemes liatnya.

Berhubung ini Minggu terakhir sebelum Ramadhan emak syantique minta maaf ya kalo ada salah2 kata salah2 doa 😁😁 biar semua bersih jiwa raga pas ibadah nanti. Sampai ketemu lagi all readers.

Just LoveTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon