Di Liwa (2)

16.3K 2.5K 116
                                    

Lagi sibuk nih belum bisa bales komen 😊 maaf yaah.
Ditungguin komentar nya deh di sini kali2 aja ada yg pengen protes silahkan aja kok

“Beneran deh gue penasaran, lu punya bakat tiran dari mana sih?” Reira menggerutu kesal dengan kepala tersandar ke punggung sofa di ruang kerjaku yang juga difungsikan sebagai gudang penyimpanan hasil panen biji kopi.

Usai menghabiskan semua suplemen, Reira terus mengikuti meski aku sudah menyuruhnya untuk beristirahat di kamar. “Kamu lupa kalau aku anak sulung?” tanyaku tanpa mengalihkan tatapan sedikit pun dari laptop.

“Ingetlah!” serunya, “tapi enggak semua anak laki sulung galak, Kak Ridho buktinya enggak. Dasar lu aja yang kebangetan.”

“Ngadepin cewek kayak kamu, wajar kalau aku sedikit keras.”

“Yeee … lu pikir, lu pedekate ama cewek semi apa, sampe harus dikerasin segala?”

“Cewek semi?”

“Semi cowok. He he he ….”
Candaan Riera membuatku melirik sekilas ke arahnya yang sibuk mengotak-atik koleksi rubikku, dahinya berkerut serius sementara bibir yang bawel itu manyun lucu, mau tak mau membuatku harus menahan senyuman.

“Ngaca aja sana, terus nilai diri kamu sendiri gimana.”

“Kalau gue ngaca, yang jelas gue nyadar banget kalau gue cantiiik sekaliii.”

“Huh!”

“Emang, kan?”

“Ya, ya, ya … ya.”

“Eh, ngomong-ngomong soal kekerasan, berhubung kata lu cewek kayak gue wajar kalau dikerasin. Gimana kalau kita buat keras yang satu itu yuuuk!”

Dasar, cewek maniak! Tidak bisa diomongin dikit, pasti ngelanturnya ke hal yang aneh-aneh.

“Jangan mulai ngajak ngomong jorok,” tegurku sinis. Dari sudut mata kulihat dia bangkit dari sofa dan melangkah ke arahku. Merasakan kehadirannya yang semakin dekat bahuku kian menegang penuh antisipasi, hal yang kurasa setiap kali di dekati Reira. Kadang yang kayak gini bikin aku berpikir, andai nanti kami sudah nikah, apa aku harus selalu jadi pihak yang terintimidasi? Haaah! Pusing sendiri kalau dipikir sih.

Kurasakan dia berhenti di belakangku, tangannya memegangi sandaran kursi kerja dan memainkan kerah kaus polo yang kukenakan. “Ziz, kenapa sih lu mau kita nikah?”

Pertanyaan macam apa itu? Ya karena kamu sudah telanjur hamil anak aku, Reira!

“Apa penting itu aku jawab?” kutolehkan kepala padanya, “kurasa kamu udah tahu pasti apa jawabannya.”

“Ya, gue tahu. Tapi … kita kan enggak harus nikah.”

“Kenapa enggak!? Apa karena kamu pikir kamu sanggup menanggung semuanya sendirian?” Mataku menyipit curiga.

“Itu salah satunya. Tapi coba deh, lu pikir lagi! Apa lu enggak pernah punya perasaan ragu kalau gue ini memang beneran hamil anaknya lu apa bukan?”

Aku terdiam. Jujur pikiran tentang itu justru baru kudapat sekarang, setelah dia mengatakannya.

“Apa itu bukan anak aku?” Pelan kuputar kursi hingga menghadap ke arahnya. Kami saling bertatapan dalam posisi yang cukup dekat. Aku terkejut saat melihat ekspresi yang diperlihatkan Reira, dia menundukkan kepala dengan wajah serba salah. Apa mungkin pertanyaanku tadi sudah menyinggungnya?

“Gini aja,” aku kembali bicara, “sebelum dan setelah dengan aku, apa kamu pernah tidur dengan orang lain?”

Reira mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah imut-imut usilnya yang kini dihiasi tampang resah. “Enggak sih, tapiii ….”

Just LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang