Lamban Balau (1)

11.8K 2.2K 197
                                    

“Istana merah.” Aku menggumam begitu keluar dari mobil Aziz dan menatap pada dinding Lamban Balau yang berwarna mahogany.

Tanpa diminta Aziz menjelaskan padaku, jika Istana keluarga Syah Iskandar telah berpindah tempat beberapa kali sejak generasi pertama.

Selain rumah tua di Tapak Siring, juga bangunan Istana lama di Pekon Buay Nyerupa yang sekarang ditempati adik perempuan Ayah Aziz. Lamban Balau yang dibangun oleh Kakek Buyut Aziz relatif lebih muda dibanding dengan empat istana milik bangsawan tiga Kepaksian lainnya.

“Namanya Lamban Balau, dinamai begitu karena seluruh bangunan juga furniturnya terbuat dari lebih dari dua ratus batang pohon balau yang di tebang dari hampir seluruh wilayah Sumatera Bagian Selatan,” jelasnya dengan penuh kebanggaan.

“Gileee!” aku berdecak kagum. “Kalau kata gue, ini istana cocoknya di kasih nama Lamban pembalakan liar, satu rumah aja ngabisin seisi hutan. Ckk … ckk … ckk, kalo ketahuan Greenpeace bisa-bisa kena demo keluarga lu, Ziz.” Candaku sambil geleng-geleng kepala menanggapi ironi itu, “beneran bikin galau nih rumah.”

“Bikin galau kenapa?”

“Yaaa … karena gue enggak tahu mesti seneng apa miris kalau kelak jadi bagian keluarga lu, terus cerita-cerita sejarah ni rumah ama orang lain.”

“Ya enggak usah cerita-cerita, gampang kan! Udah! Ayo kita masuk buat ketemu Mama sama Papa,” ajaknya.

Mati aku sekarang! “Beneran ya, nama istana lu, sama kayak pemiliknya. Sama-sama tukang bikin galau.”  Aku menggerutu kesal.

“Nama rumahku Lamban Balau, Reiraaa … bukan Lamban Galau.”

“Ho, salah?”

“IYA!” bentaknya sambil menggamit lenganku masuk ke dalam rumah. Semula aku mengira dia akan membawaku masuk ke istana merah itu.

Tapi ternyata dugaanku keliru. Aziz membawaku masuk lewat pintu pagar samping yang tertutup teralis hitam, namun saat dia membukanya aku sedikit terkejut menemukan kenyataan jika di belakang bangunan rumah tradisional panggung yang terbuat dari kayu itu ada bangunan lain yang lebih permanen.

“Demi kenyamanan dan menjaga kondisi bangunan asli Lamban Balau, Kakek membangun rumah lain untuk ditempati.”

“Ckk, itulah yang membuktikan kalo hasil ilegal logging Kakek Buyut lu enggak ada gunanya, ujung-ujungnya keluarga lu masih aja bikin bangunan baru semegah itu.” Aku menunjuk dengan dagu pada rumahnya.

“Ishh dah … jangan ngomel aja,” diguncangnya pelan jemariku yang ada dalam genggamannya. “Nanti kamu enggak usah bicara apa pun yang enggak perlu ya, Ra,” pesannya nyaris mirip dengan permintaan.

“Kenapa?”

"Biar aku yang bicara semua sama mereka.”

“Oke,” aku mengangguk setuju. “Eh, tapi tolong jangan langsung bilang sekarang,” aku menatapnya memohon.

Kulihat Aziz menghela napas sebelum mengangguk setuju denganku, “Aku akan bilang sama orangtuaku setelah makan malam. Sekarang aku hanya mau mengenalkan supaya kamu bisa berinteraksi dengan keluarga aku. Aku harap kamu bisa nyaman sama mereka, Ra.”

Tuhan, aku ngerasa jahat banget sekarang. Tapi masa aku harus ngaku sih? Aku enggak bisa ngaku kalau resikonya bakalan kehilangan cowok kayak gini dalam hidupku. Kugelengkan kepala perlahan.

“Kenapa?” dia menatapku prihatin,

“Kamu enggak mau deket sama keluargaku?”

“Bukan ituuu,” desahku frustasi.
“Jadi?”

“Ziz, gueee,” kutatap lurus matanya, mencoba mencari kekuatan untuk jadi lebih berani, meski keyakinan untuk itu terlalu tipis, “gue ….”
Lagi-lagi aku hanya bisa mengulang itu dengan ragu.

Aku tertunduk, melihat pada jari jemari kaki yang mengintip dari balik flatform shoes abu-abu dengan ujung terbuka yang kukenakan. Jari-jari itu sibuk bergerak-gerak membuat lingkaran kecil pada bagian alasnya, kuteks jingga dengan nail art berbentuk smile face yang sedang nyengir lebar seakan mengejek sikap pengecutku ini.

“Ziz ,” panggilku lagi. Kali ini sambil mengangkat kepala menatapnya. “Gue kayaknya enggak jadi hamil deh.”

TBC

Just LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang