Mikirin kamu, selalu (1)

14K 2.4K 179
                                    

Anggap aja kita impas, kemarin gue yang mainin lu sekarang lu yang mainin gue. Kata-kata itu terngiang lagi senyata ekspresi gadis yang mengatakannya terekam jernih di benakku.

Bagaimana bisa seperti itu, bagaimana bisa Reira menganggap aku mempermainkannya. Bukankah dia yang menyerangku dengan ciuman itu, tapi kenapa juga saat itu aku malah balik membalasnya?

Tuhan ... ada apa denganku? Bukankah seharusnya aku yang marah, tapi kenapa justru dia yang terlihat lebih terluka

Logika juga membuatku bertanya-tanya, jika aku benar merasa tertipu kenapa justru rasa bersalah lebih mendominasi perasaanku. Kalimat terakhir Reira waktu itu semakin membuat perih perasaan.

Gue juga bakalan lupain lu.

Semakin kuingat rasanya hati ini makin tersakiti. Padahal sudah satu bulan berlalu. Tapi jejaknya seakan tidak mau hilang dari ingatan juga lamunan.

Dadaku sesak, udara segar Liwa yang kuhirup seakan sudah dicemari oleh amoniak atau asap genset. Semakin kuulang kata-kata Reira semakin membuatku frustrasi bahkan merasa lebih buruk dari mati.

Rasa tertipu dan marah bahkan tidak mampu mendominasi lama kepala ini. Hanya sesaat saja, setelah semua amarah mereda, terpadamkan oleh logika, makin ke sini, rasa kehilangan justru menguat, berurat dan berakar dalam hati.

Mungkin Reira tidak akan mempercayai jika aku katakan kalau sekarang aku sangat kehilangannya.

Bagai orang bodoh, diam-diam aku mengikuti jejak kesehariannya lewat jejaring sosial yang dia punya dan aku ketahui.

Aku yang biasa malas berinteraksi dengan jejaring sosial kini malah berbalik jadi manusia yang tiap menit tiap detik nongkrong di depan laptop juga ponsel hanya karena Reira.

Status Facebook dan postingan Instagramnya yang terbaca olehku sedikit banyak mampu menghibur dari rasa kehilangan yang demikian besar ini. Begitu juga ocehannya di Twitter. Meski juga seringkali aku malah jadi kesal sendiri saat yang mengomentari statusnya itu justru kebanyakan dari lawan jenis.

"Iiih ... yang lagi berantem, kok unyu-unyu banget sih kelakuannya," suara Mia yang mengusik membuatku tersadar, "cuma berani nge-stalk sambil masang tampang galak, tapi enggak berani nyamperin. Hi, hi, hi, Pun Aziz kayak ababil."

Aku menoleh dan entah dari mana datangnya tahu-tahu saja adik semata wayangku sudah muncul tepat di balik punggung, ikut mengintip Intagram Reira yang aku buka.

Mia pulang berakhir pekan ke Liwa, salah satu momen langka mengingat jadwal kuliahnya yang cukup padat. Dan kepulangan itu tentu saja dimanfaatkan Mia untuk merusuhi semua pekerjaanku.

"Ckk ... rese ah," gerutuku, sambil menutup laman yang kubuka, apesnya halaman lain yang terbuka justru menampilkan blog tutorial fashion dan make up-nya Reira.

"Ha ha ha... enggak kira-kira kalau nge-stalk, semuanya diikutin yah? Mau ngapain itu buka blog fashion segala, Pun Aziz mau ngikutin gaya busananya Kak Reira ya?"

Sialan nih anak, tidak tahu aja penyakit orang keras kepala kalau kangen gebetan. Tidak mungkin kan aku sibuk telepan-telepon, atau WhatsApp Reira saat kayak gini, mau di taruh di mana harga diri kelaki-lakianku ini, hah.

"Baca aja apa salahnya kan? Semua tulisan itu pasti ada manfaatnya," elakku sok terlihat bijak sebagai bentuk usaha membela diri.

"Oh," adikku mengintip ke balik punggungku, kemudian tertawa ngikik, "selamat membaca ya, Pun. Jangan lupa dipraktekkan. Kali-kali aja Pun Aziz punya bakat buat jadi make-up artis, kan belum ada pangeran marga yang ahli make-up he ... he...."

Mengabaikan pelototanku Mia melanjutkan godaaannya, "Jadi Pun Tito enggak sendirian jadi pangeran marga dengan profesi yang paling beda. Tapi nanti kalau sudah pinter dandan, jangan ngondek bareng hi hi hi ...," ejeknya sambil-pura-pura-mengibaskan jilbab menirukan gaya khas banci salon.

Aku mendelik pada Mia, ini anak beneran minta dikelitikin sampai muntah kayaknya. "Ngapain kamu ke sini?" tanyaku ketus. "pergi sana!"

"Yeee ... Mia ke sini juga karena mau nyampein pesen dari Pun Tito, dia udah di Lamban Balak tuh."

"Oh!" seruku datar. Sejak pernikahan Aristha dengan Rensa, Tito secara rutin datang ke Liwa untuk mempelajari manajemen perkebunan dariku. Aku salut dengan bocah itu, diantara kesibukannya menjadi bintang sinetron dia masih bisa menyempatkan diri mengurusi masalah perkebunan keluarga Patra Negara sebagai salah satu amanat yang harus ia pegang sebagai seorang pangeran penerus.

"Samperin geh!" suruh Mia padaku, "Mia juga mau ikut, kan lumayan bisa foto-foto sama Pun Tito mumpung dia lagi di sini."

"Huuu...." aku melempari adik semata wayangku itu dengan kertas kosong yang sudah kuremas hingga membentuk gumpalan. Kemudian masih dengan cekikikan Mia buru-buru menghindar keluar ketika tepat di saat yang sama dari arah pantry terdengar suara Mama memanggil namanya.

Aku berbalik dan melihat ke arah layar laptop, tulisan tajuk halaman blog milik Reira membuatku menelan ludah kelu, pantas saja adikku menghina dina aku dengan kejam, apa yang dia lihat ternyata adalah review terhadap produk perawatan dan 'sesuatu' yang sepertinya untuk mewarnai pipi, benda yang bulan lalu dibeli Reira saat bersamaku.

TBC

Just LoveWhere stories live. Discover now