Mengaku (2)

12.3K 2.4K 154
                                    

“Ziz, baju ini bagus enggak sih?” Aku menegurnya yang berdiri di muka pintu masuk butik tempatku belanja baju.

Satu-satunya saat di mana aku ngerasa hubungan kami lebih dari sekedar teman jalan bareng adalah saat dia menemaniku belanja baju terus mengambil alih tanggung jawab untuk membayar.

Dia menoleh sekilas, tidak benar-benar melirik ke arahku atau baju yang kubawa, dia langsung mengangguk. Ini sudah kali ketiga dia seperti itu, sama sekali tidak peduli dengan baju yang kubawa dia langsung menyetujui dan membayarnya untukku.

“Ziz liat dulu dong!” paksaku sambil mengguncang lengannya.

Dia berbalik sambil menghembuskan napas panjang, kemudian menatap pada pakaian yang aku bawa. “Ambil aja semua, Ra. Enggak usah ditanyain ke aku deh aku mana ngerti mode yang kayak gituan.”

“Alaaah, lu bohong. Kemarin-kemarin juga buat pakaian muslim Mia sama Mama kamu yang pilih.”

“Eh, itu ....”

“Kenapa?” aku balas memelototinya, “lu pilih kasih, mentang-mentang kita enggak punya hubungan apa-apa.”

“Eh, siapa bilang.”

“Enggak denger lu!? Barusan gue yang bilang,” potongku ketus yang malah ditangapinya dengan tawa tanpa suara.

“Jadi mana gaun yang kamu pilih? Yang kuning apa yang merah?”

“Enggak jadi aja deh.” Dengan kesal aku berbalik ke dalam butik untuk mengembalikan pakaian yang ku ambil pada karyawan butik.
Entahlah, aku juga tidak ngerti alasan kenapa aku sering kesal akhir-akhir ini sama Aziz.

Penolakannya secara tidak langsung padaku kadang rasanya sungguh menyakitkan. Kayaknya di dunia ini cowok yang nolak macarin cewek cuma dia aja deh. Mungkin ini terjadi lantaran rasa frustrasiku akan cinta yang tidak berbalas. Atau justru keinginan yang kuat untuk memilikinya tidak sekuat keberanian untuk menerima ajakannya menikah.

Hal sederhana yang aku inginkan sebelum dia melamarku adalah mendengar pernyataan cintanya. Alasan menolak untuk menikah sebelum mendengar pengakuan yang satu itu mungkin dikarenakan aku sudah terlalu biasa melihat rumah tangga tanpa cinta dari orang-orang di sekelilingku.

Bagaimana Kakek Nenek, Papa dan Mamaku menjalani rumah tangganya, juga kehidupan sepupuku Tari setelah meninggalkan Rensa dan memilih menikah dengan Dosennya. Mereka semua terlihat baik-baik saja di permukaan, tapi di balik itu, yang kulihat adalah hambar dan keringnya hubungan suami istri yang terjalin. Dan aku tidak pernah bercita-cita menjadi bagian dari mereka.

Rumah tangga yang hangat, dengan suami yang tidak pelit untuk membagi kasih sayang lewat kata-kata juga perbuatan pada istri juga anak-anaknya adalah rumah tangga impianku.

Tapi sayangnya, aku benar-benar tidak tahu apakah Aziz masuk dalam kategori pria macam itu.

* * * * *

“Loh, Ra, di sana ada pameran bunga hias.” Aku mencekal lengan Reira sehingga secara otomatis langkah gadis itu yang sudah terlanjur mendahului, terhenti. Mengikuti arah tatapanku pada sudut di dalam komplek mall tempat mereka singgah,

Reira menggumamkan kata ‘cantiknya’ saat melihat ada banyak pot bunga hias seperti Dendrobium, Anggrek, sampai aneka Anthurium dan Bromelia yang sedang merajai musim tanaman hias saat ini. Di pojok lain kami bahkan melihat stand bunga  potong segar dengan aneka bunganya yang menarik.

“Mampirin yuk, Ra” ajakku bersemangat, “kali aja ada bunga yang menarik.” Sebelum Reira memberi persetujuan aku sudah menyeretnya ke pameran tersebut.

Just LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora