Ngidam (1)

20.7K 2.9K 133
                                    

Rasa-rasanya aku baru saja tertidur setengah jam yang lalu, tepatnya sebelum ponselku bersuara.

Yang melakukan panggilan menyebalkan itu siapa lagi kalau bukan Reira.

Sejak ada di Palembang untuk mengantar Mia, dibangunkan tengah malam oleh Reira dengan request yang aneh bukan terjadi baru kali ini.

Dua malam sebelumnya Reira meminta diajak main mercon di Jembatan Ampera yang berimbas kami kena tegur Satpol PP.

Kemarin pagi, Reira juga sukses membuat aku keliling kota gara-gara ingin makan bubur ayam khas Bandung yang baru bisa aku dapat setelah sibuk ngubekin Palembang dari Selatan ke Utara, Barat ke Timur, persis kayak aku sendiri yang ngidam.

Yang paling mengganggu dari ngidam versi Reira adalah keinginannya untuk meraba serta menciumi seluruh anggota tubuhku. Entah itu dada, punggung, leher. Paling parah dan bikin jengah, kalau Reira sudah mulai main-main di otot perutku dan menjalar makin ke bawah yang jelas ngefek banget sama naluriku sebagai lelaki normal.

Itulah yang paling aku takutkan dari berdekatan sama seorang Masayu Suri Reira.

Bukan aku tidak pernah protes. Hanya saja yang namanya Reira mana mempan dilarang, yang ada itu cewek bakalan pasang aksi merajuk, ngamuk, sampai nangis sesenggukan sambil ngoceh disertai ancaman-ancaman super jahat kalau nanti anak kami ileran, bakal dia buang ke panti asuhan atau kalau nggak mau dieksploitasi jadi artis bayi.

Aku sampai kepikiran kalau yang jadi ibunya Reira, entah jadi apa anakku kelak. Preman mungkin, atau tukang palak, minimal jadi tukang bully, sepertinya.

Aku hanya bisa menghela napas membayangkan. Tapi mau bagaimana lagi, sepenuhnya aku sadar ini akibat yang harus aku tanggung dari nikmat sesaat yang bahkan aku tidak ingat bagaimana rasanya.

Sudah kejadian, kata orangtua tidak baik untuk disesali. Nasi sudah menjadi bubur gosong. Apa boleh buat, enak tidak enak, aku mesti menelannya. Sambil menghela napas berat, aku menerima panggilan itu.

"Ya, Ra?"

"Ziz, gue pengen makan martabak HAR telur bebek nih!"

Aku melirik arloji yang tergeletak di nakas. Ini sudah hampir tengah malam, dan aku tak yakin jam segini apa masih ada resto martabak HAR yang buka.

"Enggak bisa nunggu besok, Ra?" tanyaku lesu.

"Enggak bisa, Dedeknya mau makan sekaraaang!" rengekan Reira kembali menyita perhatianku, "Papahnya dedek bayi please beliin!"

Kalau sudah begini kalahlah aku, sama bujukan Ira. Kuatkan dirimu, Ziz, kata hatiku menyemangati diri sendiri.

"Ckk! Oke, Ra. Agak lama dikit enggak apa ya?" sambungku sambil mengakhiri pembicaraan di ponsel dan beranjak menuju ke toilet hotel untuk sekadar membasuh muka menghilangkan kantuk.

Hanya dengan memikirkan jika apa yang kulakukan ini untuk anakku, akhirnya aku bisa ikhlas juga.

TBC

Just LoveWhere stories live. Discover now