Now I'm in love (2)

13.3K 2.4K 114
                                    

Aku menguap lagi, entah untuk yang ke berapa kali.

Sejak bergabung dengan Mbak Risma dalam bisnis butiknya, jam kerjaku memang jadi tidak manusiawi. Malam begadang nyaris sampai subuh untuk melakukan purchase order dengan beberapa stockist factory perusahaan garmen kelas dunia yang kebanyakan baru buka usahanya saat Indonesia sudah tengah malam.

Butik Mbak Risma memang memproduksi sendiri pakaian yang dijual. Edisinya yang terbatas digemari kalangan atas Ibukota, makanya Kakak iparku itu tidak mau tanggung-tanggung dalam menjaga kualitas bahan baku yang sengaja didatangkan dari pusat produksi bahan mode terbaik Dunia, entah dari Milan, Perancis mau pun bahan-bahan yang dikapalkan dari Amerika.

Pengetahuan tentang mode yang memang didukung pendidikanku di Paris membuatnya menjadikanku tulang punggung butik. Entah itu dalam urusan desain, pemesanan bahan, menentukan rancangan permusim semuanya tidak akan dia lakukan tanpa persetujuan dariku.

Benar-benar pandai Kakak Ipar satu itu menggunakan asas manfaat. Tapi, setidaknya berkatnya Mbak Risma aku bisa mengatasi perasaanku yang sempat kacau balau pasca patah hati dengan Aziz

Oke, stop ngomongin Aziz. Aku tidak mau nangis bombay kayak alay lagi cuma gara-gara ingat sama dia. Fase itu sudah lewat. Hah... tapi sudah terlanjur inget kayak gini, mana tengah malem lagi, suasananya mendukung banget deh buat bergalau ria. Ckk, okelah buat kopi sambil masak mie dulu aja, kali aja entar lupa.

Aku beranjak menuju pantry dan mulai melakukan semua yang kurencanakan. Sambil menunggu air panas dari dispenser untuk merebus mie, kuaktifkan tabs yang sengaja kuletakkan di meja pantry.

Pengalaman mengajarkan aku untuk selalu menaruh tabs cadangan pada area-area yang berkemungkinan besar menghabiskan waktu saat aku sedang ada di sana. Selain dapur, aku juga menaruh tablet di kamar mandi.

Yang pertama kulakukan adalah membuka Instagram. Sambil menatap deretan foto di beranda Ig kuhirup cairan mocha latte dingin kesukaan.

Suara dentingan khas pesan masuk dari aplikasi messenger membuat perhatianku teralih. Pelan kusentuh layar ponsel yang menampilkan lambang mirip petir itu.

Aku membukanya lebih karena ingin tahu. Di jaman eksis pakai WhatsApp ini sudah nyaris tidak ada yang mengirimiku pesan di messenger, aplikasi itu kuaktifkan karena memang jadi aplikasi bawaan di gadgetku.

Kemudian apa yang kubaca membuatku menyemburkan cairan mocha latte saking kagetnya.

Aziz Syah Iskandar menyapa dengan melambaikan tangannya!
Ketuk untuk membalasnya

OH MY GOD!! AZIZ!!
Kututup mulutku dengan telapak tangan, menahan supaya aku tidak melakukan hal konyol sebangsa berteriak a la Tarzan atau melakukan pinguin dance.

Jemariku menari dia atas layar membuka daftar obrolan untuk memeriksa apakah manusia satu itu sedang online. Dan benar, aku melihat tanda bulat di samping namanya berwarna hijau tanda dia juga sedang online.

Jemariku gemetar, jantungku ... jangan ditanya. Asyik goyang stroke segala. Yah samalah kayak pemiliknya yang nyaris stroke melihat bukti-bukti kehidupan dari seorang Aziz Syah Iskandar.

Ragu kutekan tanda untuk memulai obrolan lewat chat.

Suri Reira: Apa! Lambai-lambai tangan ke anak orang, butuh tumpangan Bang? Sori ya Bang tapi kita nggak satu jurusan apalagi satu tujuan.

Ya Allah, kenapa juga setelah lost contact berbulan-bulan harus itu yang aku katakan padanya. Kenapa sih, susah banget kayaknya bagiku untuk pasang sikap manis sama dia. Selalu aja kayak gini jadinya.

Bunyi nada khas adanya chat yang masuk kembali membuat jantungku berdebar kencang, aku menahan napas saat membaca pesan yang masuk.

Aziz Syah Iskandar: Kamu belum tidur, Ra?

Aku membacanya tiga kali, saat mengulang membaca untuk yang keempat kali air mata menetes dari mata kananku, mengulang kali kelima air mata menyusul jatuh dari pelupuk mata kiriku. Ya Allah, sehebat inikah efek yang dia beri padaku? Hanya karena empat kata sederhana itu.

Suri Reira: Belum.

Aziz Syah Iskandar: Kenapa?

Suri Reira: Ini kan sudah pagi.

Aziz Syah Iskandar: Enggak salah?

Suri Reira : Jam satu kan emang udah pagi (bagi gue)

Suri Reira : Lu ndiri!? Kok tumben OL?

Suri Reira: Masih hidup lu, kirain dah dimakan paus biru.

Aziz Syah Iskandar: Issshh ... jahat ah.

Aziz Syah Iskandar: Aku emang sengaja OL. Lagi nge-stalk seseorang :)

Bego Iraaa ... dia pasti lagi chat sama ceweknya. Logika memperingatkan hatiku, seketika membuat aku kembali meneteskan air mata menahan kepedihan yang kurasa. Ternyata, dia online malam ini bukan sengaja untuk menghubungiku.

Bego ... Reira bego ..., jika dia memang mencari aku, kenapa juga baru sekarang. Kenapa tidak dari dulu-dulu. Aziz tidak pernah peduli padaku, itu kenyataannya. Aku harus sadar, dan yang paling penting, aku harus berhenti berharap. Pelan tapi pasti kuketikkan sesuatu pada papan keyboard.

Suri Reira: Oh ... ya udah, kalau gitu selamat nge-stalk aja.

Suri Reira: Bye, gue tidur dulu, ngantuk.

Tanpa menunggu balasan darinya kumatikan tabs tanpa menutup lagi laman-laman yang kubuka.

Sambil menyeka air mata aku menghampiri dispenser dan membuka tutup alumunium foil mie cup favoritku. Kutuangkan air panas di sana berikut bumbu-bumbunya, uap air yang menerpa wajah menyembunyikan tangisku, namun tidak berhasil membawa pergi rasa sakit yang kembali kurasa malam ini.

Cuma dia. Yang bisa membuatku merasa sesakit ini.

TBC

Just LoveWhere stories live. Discover now