Itikad (3)

11.5K 2.1K 66
                                    

Di perjalanan Aziz menjelaskan padaku semua rencananya. Dia ingin kami mengambil resiko dengan mengakui apa yang telah terjadi. Mengakui jika aku hamil dan ingin bisa menikah secepatnya.

“Lu beneran mau kita nikah?” tanyaku sambil memasang tampang tak percaya.

Meski kesal melihat reaksiku, Aziz mengangguk masih sambil berkonsentrasi penuh melajukan kendaraan dari halaman Lamban Balak di Pekon Kembahang, masuk ke dalam pusat kota Liwa menuju rumah keluarganya di Sukau. 

Menurutnya jarak yang harus ditempuh tidak terlalu jauh. Tapi setelah melewati daerah Pasar Liwa yang ramai, jarangnya kendaraan umum membuat kesulitan tersendiri untuk mencapai rumah keluarga Syah Iskandar di Pekon Hanakau.

Aziz terus berkonsentrasi sambil membelah jalanan dengan pemandangan utama kebun sayuran di kiri dan kanan jalan. Sementara sejak tadi aku hanya duduk manis sambil menatap pemandangan di luar.

“Ra, aku enggak akan mengubah apa pun tentang rencana awal kita,” jawabnya pelan.

“Apa lu yakin?” Kali ini saat bertanya aku melirik Aziz terang-terangan, yang dibalas dengan cara yang sama.

“Insya Allah.”

“Gue enggak ngerti deh sama lu,” keluhku pelan. Kali ini aku bahkan mencondongkan tubuh menghadap pada pemuda itu. “Apa sih yang bikin lu begitu yakin kita harus tetap nikah? Padahal dalam hubungan kita, selain apa yang menjadi beban moral lu untuk bersikap layaknya ksatria dengan bertanggung jawab, apa lagi sih yang kita punya? Kasih sayang, enggak. Cinta, juga enggak, iya kan?”

Aku melihat Aziz terdiam. Kemudian kudengar dia menghela napas panjang dengan penuh keyakinan sebelum menjawab. “Itikad yang baik. Kita punya itu untuk memulai pernikahan.”

Kalimatnya membuatku terdiam. Itikad baik. Pernikahan berdasarkan hal itu. Apalagi penawaran terbaik selain itu. Tidak perlu diragukan lagi kualitas dari pria yang mengatakannya.

Perkawinan tidak perlu dimulai dari cinta, tidak perlu dari kasih sayang. Tapi jika itikad baik selamanya dijalankan maka semuanya lambat laun akan datang dengan sendirinya

Masalahnya, jika itu dikatakan pada wanita yang bahkan sejak awal hanya berpikir untuk memperdaya, mengisengi, dan bahkan parahnya menjerumuskan orang lain dalam kesusahan, maka apa itikad baik seperti yang dia maksud masih berlaku?

“Stop, Ziz,” pintaku mendadak.
Aziz menoleh padaku dengan kedua alis tebalnya yang saling bertaut,

“Kenapa?”

“Gue mau turun, mau pulang.” Baru satu kali ini saja merasa benar-benar tidak siap mengambil risiko apapun yang terkait dengannya. Suasana hatiku langsung memburuk karena beban rasa bersalah juga kebohongan yang  sudah aku lakukan.

Diperkenalkan pada keluarga lelaki yang ingin menikahi dengan itikad baik, justru saat itikadku cuma sebatas main-main dan iseng, itu sangat keterlaluan.

Bukannya Aku tidak mau punya suami model Aziz. Secara logika mau sekalilah. Tapi, saat aku balik menilai diri sendiri, apa aku layak buat orang seperti dia? Kualitas Aziz dengan kualitasku berbanding terbalik. Dan bahkan sejak awal niatku mengaku hamil hanyalah sekadar untuk mempermainkannya aja.

“Ziz, tolong stop, gue mau pulang.” Suaraku terdengar serak. Air mata sudah menggenang di pelupuk, hanya tinggal menunggu jatuh saja.

Aziz melirik padaku tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya. Secara tiba-tiba dia menepikan mobil di pinggir jalan kemudian mematikan mesin.

Lama dia tidak mengatakan apapun hanya mendengarkan saat aku berusaha mengatur napas juga perasaan yang mendadak kacau balau.

“Enggak bisa gitu dong, Ra,” setelah aku cukup tenang dia berkata, “aku udah ngerencanain ini jauh-jauh hari. Lagian sudah telanjur di jalan gini, kamu mampir aja dulu deh ke Lamban Balau sebagai tamu aku. Sekalian kita nanti bahas semuanya di rumahku saja, gimana?”

Tahu jika Aziz tak akan mengabulkan keinginanku dengan mudah, aku hanya menjawab dengan mendenguskan napas keras-keras lalu melipat lengan di depan dada.

TBC

Just LoveWhere stories live. Discover now