Dilema (2)

12K 2.3K 111
                                    

Yang semangat yak komen sama votenyaaa 😁😁😁

“Lu ngehindar dari gue ya?” Reira menanyakan itu keesokan harinya, tepat sebelum dia dan seluruh keluarga besarnya—yang menginap di rumahku—pulang ke Palembang.

Aku membuang muka ke arah lain, “Hati-hati di jalan, jangan kebut-kebutan.”

Rasa tak suka menghias wajahnya. “Lu ngalihin omongan?” desaknya geram, “salah gue sama lu apa sih?”

“Ra,” kutundukkan kepalaku untuk menatap langsung ke arahnya. “Kamu jelas tahu kan prinsip aku gimana? Kamu juga tahu kan kalau aku enggak punya pengalaman deket dengan gadis mana pun? Kalau kamu masih nanya soal salah kamu di mana, itu aku enggak tahu. Aku enggak tahu siapa yang patut disalahkan sekarang.”

“Ziz gue,”

“Kamu enggak salah,” potongku cepat, “aku juga. Mungkin situasi antara kita yang salah. Tapi kedengerannya hanya kayak nyari alesan kalo kita nyalahin situasi, jadi tolong untuk sementara ngertiin aku. Kita perlu jaga jarak.” Tegas aku bicara.

Reira menatapku nanar, matanya terlihat kosong sejenak. Dan dia tergagap ketika kembali bersuara. “Lu m-mau ninggalin gue?”

Kuhembuskan napas lelah. “Andai bisa, tentu aku sudah melakukannya sedari awal.”

“Jadi?”

“Sampai kamu mau nikah sama aku, lebih baik kita beneran harus jaga jarak satu sama lain.”

“Itu ultimatum?” tanyanya sambil cemberut, “emang nikah selalu segampang itu apa?”

“Kenapa enggak? Orang jaman dulu dijodohin langsung nikah, dilamar langsung nikah. Kurasa itu enggak asingkan di lingkungan kamu juga.”

“Gue nanya deh sama lu, kalau seandainya gue setuju buat nikah sama lu, apa lu bakalan bisa langsung mencintai gue? Kita bisa enggak langsung sayang-sayangan kayak pasangan yang nikah emang karena cinta? Apa lu bisa langsung ngasih gue nafkah batin malemnya?”

Eh!? Mulutku membuka dan mengatup beberapa kali dalam hitungan detik, aku megap-megap kayak ikan kekurangan air di hadapan Reira yang menatap tajam nyaris tak berkedip. 

Pertanyaan macam apa itu? Apa dulu Tamong Dalom , juga Papa menerima pertanyaan serupa ini sebelum menikah dengan Kajong Dalom  dan Mama? Aku mengerjap dengan separuh isi otak yang mendadak blank  tanpa tau harus jawab apa?

“Kalau lu aja enggak tahu usai nikah kita mau apa, ngapain juga lu ngajak gue nikah?”

“Eh! Karena,” aku sibuk mencari alasan, “mencegah dosa.”

Ya, itulah alasannya. Meski aku enggak tahu apa aku sanggup langsung jadi penyerang di malam pertama, tapi aku tahu daya tahanku sebagai lelaki normal pada Reira—atau justru tubuhnya—mulai melemah.

Reira memutar matanya. “Terus kalau dosa udah tercegah dengan jalan nikah, emang ada jaminan kita enggak bakal bikin dosa lagi setelah nikah?” Nada sarkastis dalam suaranya mendominasi. Aku enggak sangsi jika ada dokter yang bilang sebagian otak Reira letaknya ada di pipinya yang chubby sehingga mengindikasikan kehebatannya dalam mendebat orang.

“Kalau lu enggak sanggup ngasih nafkah batin di malam pertama itu aja dah dosa tahu enggak,” cecarnya lagi.

Ini obrolan makin aneh sama makin enggak jelas aja. Reira pinter banget bikin kabur inti masalah. Yang dimaksud apa, yang dibahas jadi apa.

“Udah deh Ra, intinya kamu mau enggak nikah sama aku? Kalau enggak ya udah untuk sementara kita harus beneran jaga jarak.”

“Lu nyebelin, Ziz,” ketus dia berkata, kemudian tanpa menunggu reaksiku dia berbalik menuju Pajero Sport milik salah satu abangnya yang sudah balik duluan bareng keluarga Rensa yang lain.

Aku mendengar suara pintu mobil yang dibanting keras, kemudian mesin yang dinyalakan menggerung kasar.

Aku menghembuskan napas dari mulut dan menghadang tepat di depan mobilnya sebelum gadis itu berkendara dalam keadaan marah yang justru bisa membahayakan nyawanya.

Jendela di sisi pengemudi terbuka dan Reira mencondongkan tubuhnya keluar untuk melihat ke arahku.

“Minggir sana!” usirnya galak.

Tidak hirau akan kemarahan Reira aku memutuskan untuk mendekat ke sisi jendelanya yang terbuka. “Dua minggu lagi aku ke Palembang,” kataku, “aku mau kita tetap ketemuan seperti biasa.”

Sekilas Reira membuang wajahnya ke arah lain. Aku tidak dapat melihat ekspresi tatapannya karena tersembunyi di balik kaca mata gelap yang dia kenakan.

“Lu enggak usah main-main. Baru aja lu bilang mau jaga jarak, sekarang lu bilang tetep mau ketemuan sama gue,”

Aku tersenyum sekilas, “Apa pun yang terjadi, kenyataan kalau kamu calon istri aku enggak bakalan berubah, Ra,” untuk beberapa lama kami hanya bertukar tatap. Sebelum akhirnya seringai jahil Reira mengurai ketegangan yang kurasa.

“Lu tahu, Ziz,” Reira berkata seraya menggerakkan tuas transmisi otomatis mobilnya ke modus drive, “selama lu belum bilang cinta ke gue, itu artinya enggak ada pernikahan. Dan selama pernikahan belum terjadi, itu tandanya enggak bakalan ada kata sepakat antara kita soal apa yang paling lu takutin. So! Lu pikir sendiri apa jaga jarak masih efektif untuk kita berdua?” Dan lagi-lagi—tanpa menunggu jawaban dariku—Reira sudah melajukan mobilnya begitu saja.

TBC

Just LoveWhere stories live. Discover now