Mengikat Janji (1)

14.1K 2.6K 257
                                    

Jangan lupa komen dan votenya yaaah ... Biar yang unggah makin semangat.

"Anda tidak apa-apa, Pak?" Seorang pramugari menyapa, tampaknya dia khawatir saat melihatku melangkah menuju pintu pesawat.

Aku hanya mengangguk tanpa balas tersenyum atau apa pun. Rasanya sudah terlalu lelah dan lemah untuk memberi reaksi lebih dari perhatian orang-orang di sekitar. Sejak enam jam penerbangan dari Incheon sampai ke bandara Soetta aku mendapat perhatian para pramugari karena terus bolak-balik ke toilet untuk muntah-muntah.

Sisa sakit dari perjalanan sebelum ini rupanya tidak benar-benar hilang. Ditambah lagi dengan beban pikiran hilangnya Reira yang membuatku sungguh tertekan. Sepertinya itu yang membuat sakit lambung yang selama ini tidak pernah kumat semakin menjadi-jadi meski obat penghilang mual dan mengatasi nyeri lambung sudah diberikan oleh kru pesawat tetap saja aku merasa tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Kulirik arloji di tangan, benda itu memberitahu jika waktu sudah beranjak ke jam setengah lima sore tepat ketika pola rutin bandara selesai kujalani dengan enggan.

Usai memastikan semua barang tak ada yang tertinggal aku keluar menuju transfer desk untuk mengurus penerbangan yang berikutnya ke Palembang.

Untung saja karena penerbangan domestik ku nanti masih dengan maskapai yang sama jadi tidak perlu repot pindah terminal dan mengurusi bagasi karena sudah jadi urusan pihak Airlines. Dengan kondisi sekarang aku sendiri tidak yakin sanggup jika harus menggeret bagasi kesana-kemari.

Aku masuk ke boarding lounge dengan keringat dingin membasahi kemeja yang kukenakan, pakaian yang lembap dan ruangan yang berpendingin langsung membuatku menggigil.

Sambil menghela napas panjang kujatuhkan diri di kursi terdekat. Kemudian aku baru sadar kalau sepertinya aku salah memilih posisi duduk karena deret kursi di baris depan juga disebelahku semua ditempati kumpulan ibu-ibu berkerudung panjang.

Mereka sibuk mengobrol dan berkomentar tentang acara live show salah satu ustadzah terkenal yang baru mereka hadiri.

Baru saja aku hendak pindah tempat kursi kosong disebelah kananku di duduki ibu berhijab lain yang menggunakan masker hijau untuk menutupi mulutnya. Apa yang membuatku kembali menghela nafas dan memutuskan untuk diam saja karena terlalu malas untuk berinteraksi dan juga lelah dengan situasiku saat ini.

Pada saat normal, selagi masih ada kursi kosong lainnya, sedapat mungkin aku tidak akan duduk di sebelah wanita yang menggunakan hijab sebagai bentuk penghormatan. Tapi hari ini, yang kuingin hanyalah duduk dan bersandar di kursi. Lagipula semua kursi di belakang juga rata-rata sudah penuh dengan ibu-ibu lain yang baru masuk bersama perempuan yang duduk disebelahku.

Berusaha untuk tidak memedulikan sekitar aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi sambil memejamkan mata. Aku menarik dan menghela napas dengan gelisah dan susah payah. Pikiranku tak bisa lepas dari Reira dan ke mana sekiranya gadis itu pergi. Ingat itu membuatku kembali membuka mata dan mengeluarkan ponsel, kuaktifkan ponsel ke modus normal dan cepat-cepat menghubungi ponsel Reira.

Aku hanya makin frustrasi saat menyadari jika ponsel Reira masih belum aktif juga. Satu kali lagi aku mencobanya, lagi dan lagi tapi tetap saja tak ada hasil.

"Ra, kamu ke mana sih!" Aku mendesah tanpa sadar, mengabaikan nada frustrasi yang terdengar dalam suaraku sebelum beralih menghubungi nomor ponsel Kak Risma yang justru langsung diangkat pada dering pertama.

"Asalamualaikum, Kak," balasku sapa dia lemah, "ini aku, Aziz. Bagaimana? Apa Reira sudah-"

"....."

Jawaban Karisma dari seberang sana refleks membuatku memejamkan mata.

"Oh!" Seraya memijit bagian diantara kedua alis dan pangkal hidungku aku mengatakan praduga yang paling aku takuti. "Kak, apa ada kemungkinan Reira kabur dengan lelaki lain?"

Aku menoleh sesaat pada ibu bermasker di sebelahku yang terbatuk-batuk tanpa daya. Ah, sepertinya ibu-ibu itu sama sepertiku, sama-sama harus bepergian dalam keadaan sakit.

"....."

Jawaban dari Kak Risma mengambil alih perhatianku lagi, "Itulah, Kak, seingatku tidak ada masalah sama sekali. Makanya aku sama sekali tidak menyangka bakalan jadi seperti ini."

"....."

"Baiklah, Kak, aku sedang menunggu penerbangannya, selepas magrib sepertinya aku baru sampai, nanti aku hubungi lagi,"

"Ya, Kak. Terima kasih." Aku menatap ponsel tanpa benar-benar tahu apa yang seharusnya aku lakukan selanjutnya. Yang kumampu saat ini hanyalah mengusap-usap wajah dengan telapak tangan kanan selama beberapa detik sebelum kemudian tanganku berpindah menjambak rambut dengan frustrasi.

"Ya Allah, Reiraaa ...," dengan hati kalut kupanggil namanya, "kalau kamu mau batalin pernikahan kita, kenapa harus seperti ini caranya ... arghhh!" keluh frustrasiku.

Mungkin risih dengan kelakuanku wanita bermasker di sebelahku sekilas menoleh, menatap dengan sepasang alis bertaut sebelum berdiri dan pergi menjauh.

Ya Allah, padahal sebentar lagi aku mau sampai ke Palembang ke kota yang seharusnya bakal jadi tempat sejarah baru hidupku terukir.
Besok juga hari pernikahanku, tapi sekarang calon pengantinku malah kabur.

Ya Allah, cobaan apalagi sih ini? Aku menatap ke ponselku berharap benda itu kembali berfungsi dan memberitahukanku di mana Reira sekarang. Tiba-tiba saja doaku jadi kenyataan. Nada panggilan khusus Reira terdengar, kutatap layar ponsel tak percaya. Reira. Itu panggilan dari Reira. Tuhaaan, terima kasih.

"RA!" seruku begitu benda itu telah kuangkat.

"Pun!"

"Ira, kamu ke mana aja sih? Kamu mau buat aku gila ya?" kataku setengah membentak dengan suara serak menahan perasaan antara amarah dengan kelegaan yang begitu meluap-luap. Jujur rasanya aku bahkan ingin menangis sekarang.

"Pun, Maaf ...."

"Enggak ada gunanya maaf, kamu di mana? Kamu lari dengan cowok lain ya? Kamu mau kita batal nikah?" cecarku tak terkontrol lagi.

"PUUUNNN!!" bentaknya kencang, "dengerin dulu dong!"

Aku terdiam, dadaku sesak. Sebutir air mata bahkan lolos tak tertahan lagi. Aku menarik napas dengan hidungku yang basah. Dan di seberang sana kudengar suaranya terkesiap.

"Pun, maafin Ira ...," suaranya terdengar lirih, "Ira enggak maksud kabur apalagi sampe batalin pernikahan kita."

"Sweeet, kalau kamu emang enggak niat ngebatalin nikahan kita kenapa kamu ngelakuin ini sama aku?" Dengan susah payah aku berusaha menyembunyikan emosi dalam sikap tenang yang tidak mampu ter-cover sempurna di wajahku.

Beberapa orang yang sepertinya tidak sengaja mendengar menatap penasaran hanya untuk mengerutkan dahi saat melihat tampangku. Mungkin mereka nggak tega berlama-lama memandangi calon mempelai bernasib malang ini.

"Ada hal paling penting yang Ira lupa."

"Apa?" desakku.

"Maaf, Ira enggak bisa nyeritain dulu. Nanti ya, kalo kita ketemu Ira pasti cerita."

Tuhan, pintar benar gadis ini membuatku stres juga penasaran, kapan kami bisa ketemu, tentu saja aku tahu jawabnya... besok pagi, jam delapan usai akad nikah dilaksanakan, tapi aku tak yakin saat itu dia bisa menjelaskan padaku situasi macam apa yang membuatnya sampai tega kabur-kaburan begitu.

"Terserah kamu lah!" dingin aku bersuara, "tapi kalau emang kamu enggak mau nikah sama aku kamu ngomong dari sekarang biar aku bisa bertindak benar," ketusku datar.

Entah beberapa lama aku tak mendengar balasan, sampai akhirnya isakannya di seberang sana membuatku kebingungan. "Ra!?"

"Ihhh ..., jahaaat! Tegaaa! Pun Aziz nyebelin!!" dan kemudian percakapan itu putus sampai di sana.

Ya Allah! Kenapa sekarang malah jadi begini ceritanya?

TBC

Just LoveWhere stories live. Discover now