Keputusan yang menyakiti (2)

13.2K 2.4K 168
                                    

Aku menatap tajam pada Karina, dia adiknya Mbak Risma, yang juga ikut tinggal bersama keluarga kami.

Meski kurasa tatapan mata tajamku melontarkan pandangan ingin mengulitinya, si jelek berambut pixie dengan piercing di sudut bibir itu balas menatapku acuh tak acuh.
Setelah hampir dua bulan berlalu dari kejadian pemukulan yang dilakukan Karina pada Landi, ini kali pertama gadis itu kembali ke rumah lagi. Nggak bertanggung jawab banget dia memang, sudah mukulin anak orang sampai di opname langsung kabur ke Jogja.

“Lu hampir ngebunuh Landi tahu enggak!?” seruku marah.

“Cuma hampir, kan?” sahut Karina cuek.

“Cuma hampir! Mendingan lu bunuh dia sekalian!” Aku makin kesal dengan jawabannya. Karina balas menatapku bingung, mungkin karena sama sekali tidak menyangka aku akan bicara seperti itu.

“Gara-gara kalian berdua gue jadi batal ngobrol panjang lebar sama Aziz, padahal dia udah enggak marah lagi sama gue. Tapi sekarang dia bahkan sama sekali enggak bales pesan WA dari gue lagi, tahu enggak!?”

Karina mencebikkan bibir tipisnya sekilas lalu tersenyum manis. “Itu derita lu,” ejeknya sambil berlari ke arah pintu kamar yang terbuka. Aku menggeram marah dan baru saja hendak melemparkan sandal yang kupakai ke arah lady rocker yang satu itu saat ponselku berbunyi.

Aku menghela menghela napas masih sambil sedikit menggerutu ketika menghampiri tempat tidur, tempat aku menaruh ponsel.
Mataku melebar dan aku seakan kehilangan napas saat melihat nama Aziz yang muncul di sana. Mulutku ternganga tak percaya, detik berikutnya aku tersenyum penuh kemenangan sambil berulang kali menganyunkan lengan kanannya ke atas bawah dan menyerukan kata Yes ... berkali-kali. Aku menang. Ya! Kali ini aku yang menang. Aziz menghubungiku lebih dulu. Rasanya tidak bisa dipercaya usaha jual mahal ku berhasil juga.

Aku berupaya melegakan tenggorokannya dengan terbatuk kecil sebelum mengangkat ponsel. Ketika panggilan hampir berakhir aku baru mengangkatnya. “Ya …. Aziz, apa kabar?” Jemariku melayang ke dahi untuk merapikan anak rambut ke balik telinga.

“Aku? Hmm … baik.” Aku benar-benar tidak berusaha keras menyembunyikan rasa senangku karena dia menghubungiku lebih dulu. “Bagaimana dengan kamu?” Aku balik bertanya.

Dan apa yang kudengar sebagai jawaban membuat semua kegembiraan yang kurasakan lenyap tidak berbekas. Benakku lambat-lambat mencerna semua penjelasan yang di sampaikan olehnya beberapa detik yang lalu.

Bahwa Aziz ada di bandara sekarang.

Bahwa Aziz pamit akan ke Korea Selatan untuk bekerja di sana, dan entah kapan kami bisa bertemu kembali.

Apa yang dia sampaikan menghilangkan seluruh euphoria karena untuk kali pertama sejak aku mengenalnya dia yang menghubungi aku terlebih dulu.

Betapa aku ingin terkikik geli dan bertanya jika dia tentu saja sedang bercanda padaku. Tapi nada sedih dalam suaranya mendominasi akal sehatku jika apa yang dia sampaikan adalah suatu keniscayaan yang sudah tidak terhindarkan lagi.

Demi Tuhan! Pria yang kucintai dengan sepenuh hati seumur hidupku sudah berada di bandara dan itu di Jakarta di mana aku tidak akan bisa menyusul sedramatis adegan di film tentang perpisahan mana pun yang aku saksikan.

“Ra,” Dia memanggilku, seakan ingin mengatakan sesuatu. Dan aku terburu-buru mencegahnya mengatakan apa pun kalimat menakutkan yang paling tidak ingin aku dengar.

“Ziz, lu enggak serius kan?” Rasa panik menyerang begitu tiba-tiba. “Lu tahu gue enggak ada di deket lu untuk bikin lu ngerubah pikiran,” saat itulah butir-butir air mata mulai meluncur dari mataku. “Lu tahu gue di Palembang, kan?”

“Ra!”

“Gue enggak bisa lari dengan gampang ke bandara buat nyegah lu ngelakuin kegilaan apa pun yang sedang lu rencanain sekarang.”

“Ra.”

“Gue juga enggak bisa nelpon bandara buat kasih tahu kalau di pesawat yang bakal lu naikin ada bomnya, kalau itu gue lakuin pun saat gue sampai di sana lu pasti udah pergi dan gue udah di tangkap polisi."

Aku mendengarnya mendesah putus asa dan sepertinya ragu.
Tidak kusia-siakan itu untuk terus membuatnya bimbang, apa pun akan kulakukan agar ia tidak meninggalkanku.

“Kalau lu pergi itu artinya lu sama aja ngelepas gue, dan gue enggak janji bakalan mau nungguin lu pulang lagi, gue pasti bakal nikah sama orang lain.”

“Siapa?” ketegangan nyata dalam suara Aziz, “Landi?”

“Maybe!”

“Ra—” Apa pun yang ingin dia katakan terjeda oleh pengumuman boarding yang membuatku langsung merasakan ketakutan dan ketidakberdayaan di saat yang bersamaan.

Semoga saja itu bukan pesawatnya, harapku dalam hati. Tapi kemudian—satu kali lagi—kudengar Aziz menarik dan menghela napas dengan cepat. “Aku harus pergi,” kata-katanya bagai vonis.

“Jangan, please!”

“Jaga diri kamu baik-baik, Ra.”

Kata-kata kami terucap serentak. Aku mulai mulai bernapas tidak beraturan, pikiranku kalut bukan main karena sadar tak ada lagi yang bisa kulakukan.

“Aku pergi.” Saat dia mengatakan itu, rasanya aku benar-benar ingin mati.

Setitik air mata meluncur, disusul dengan guliran yang lain, berkejaran, membentuk sungai di sepanjang tulang pipiku. Napasku terengah, isakku mengeras, dan pecah tak terkendali. Aku menangis keras, sambil membungkukkan tubuh sampai menempel setara paha. Tubuhku merosot dari tepian ranjang ke lantai. Rasa kehilangan yang demikian besar menyakitiku dari dalam, sampai rasanya tak dapat kutampung dalam pikiran mau pun hati. 

Aku tidak pernah bermimpi jika Aziz bisa pergi dariku. Tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya bahkan saat kami bertemu waktu itu.

Padahal kukira seorang Aziz adalah jangkar yang bisa membuatku menatap pada satu komitmen seumur hidup. Keteguhannya, juga status, dan perannya yang kuat dalam keluarga dan lingkungan adatnya adalah apa yang tidak kutemukan pada laki-laki lain.

Aziz adalah komitmen, dulu kupikir seperti itu. Tapi saat ini, namanya hanya sebanding dengan hati yang terpatahkan dan luka yang belum pernah aku terima separah ini.

Aku melamun, menatap pintu kamarku dengan pikiran sekosong galon siap isi, lalu mulai menangis sambil memeluk boneka kuda nil besar yang pernah dibelikannya.

Segala kenangan membaur bersama tumpahan air mata, hanya menambah rasa sesak tidak terperi akan sikap Aziz yang dingin dan tidak peduli. Sakit rasanya menyadari jika diriku tidak pernah menjadi bagian penting dalam rencana hidupnya. 

Ada banyak lelaki yang pernah singgah di hatiku juga hidupku. Tapi tak satu pun yang pernah membuatku menangis seperti yang dia lakukan padaku. Aku tidak pernah tahu jika hubungan dengan seorang lelaki bisa sangat melelahkan, juga sangat menyakitkan seperti apa yang aku rasakan sekarang.

Hari itu aku menghabiskan waktuku dengan menangis. Tangisan terpanjang yang mengalahkan rekor tangis mana pun yang pernah kulakukan. Saat itu aku merasa berada pada titik terendah dan paling terpuruk dalam hidup, apa yang aku rasa hanyalah perasaan terkucil, dari dunia dan seisinya.
Juga darinya—pria yang kucinta tapi memilih untuk meninggalkanku.

TBC

Nangis2 deh sana lu Ra 🤣🤣🤣
Emak mah hepi2 aja.

Just LoveWhere stories live. Discover now