19

4.1K 610 50
                                    

(Namakamu) terlihat tertawa dengan Alwan yang selalu bertingkah konyol di sisinya, bahkan (Namakamu) memukul Alwan yang mulai terlihat menjengkelkan. Bel istirahat telah berbunyi sedaritadi, hingga semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya untuk mengisi kembali energi mereka yang telah terkuras habis untuk belajar.

Semua kantin tampak ramai dan penuh, bahkan ada yang berdesak-desakkan untuk mengambil pesanan makananya. (Namakamu) dan Alwan baru sampai di kantin tempat di mana mereka sering makan. (Namakamu) mencoba mencari meja kosong yang ada di kantin tersebut.

Alwan yang ada di belakang (Namakamu) seketika menepuk bahu (Namakamu), (Namakamu) mengalihkan tatapannya ke arah Alwan. “ Kenapa?” tanya (Namakamu) saat melihat Alwan bergerak kecil.

“Gue mau ke toilet dulu, lo duluan aja pesenin makanan untuk kita. Udah kebelet, nih …,” ucap Alwan terburu-buru. Sebelum (Namakamu) mengiyakan, Alwan pergi berlari meninggalkan (Namakamu) sendiri.

Jadi, ingin nyanyikan lagu Bunga Citra Lestari.

(Namakamu) pun hanya menghembuskan napasnya, lalu mulai masuk ke dalam kantin yang penuh dan antriannya yang belum berkurang sama sekali. Jika memang tidak ada meja kosong lagi, lebih baik dirinya dan Alwan makan di taman sekolah saja.  (Namakamu) pun akhirnya masuk ke dalam antrian pemesanan makanan sembari memainkan ponselnya.

Perlu beberapa menit, akhirnya (Namakamu) pun dapat sampai ke meja pemesanan. Ia memasuki ponselnya ke dalam saku seragamnya. Ia tersenyum ramah seperti biasanya kepada ibu kantin itu.

“Bu, (Namakamu) pesan soto ayam pakai nasi dua, terus … es tehnya dua,” ucap (Namakamu) dengan lembut.

“Duh .. nakku, nggak ada kayaknya lagi meja kosonglah . Kek mana pulak itu? Maunya kau tunggu dulu sampai selesai orang-orang itu?” Suara khas logat Batak Karo  dari ibu kantin ini membuat (Namakamu) tersenyum, terdengar keras tapi sebenarnya itu bukanlah ucapan emosi melainkan nada tidak enaknya, karna meja-meja terisi penuh.

“(Namakamu) makan di taman sekolah aja, Bu,” balas (Namakamu) dengan senyumannya.

Ibu kantin itupun tampak tidak terima, pasalnya (Namakamu) adalah pelanggan tetapnya. Dari kelas 10 hingga kelas hampir akhir ini pun tetap setia kepadanya. Bagaimana jika pelayanan di kantin ini tidak lagi menjadi puas dipelanggan tetapnya ini? Kan jadi berkurang penghasilannya.

“Ula min bage, timai lebe … Aku cari dulu lah tempat duduk untukmu ya, Nakku. Ula kam kiam-kiam.”

“Ha? Hahahaha .. ibu ngomongnya campur-campur, (Namakamu) nggak ngerti, Bu,” tawa (Namakamu) yang terdengar geli dengan bahasa campuran ibu kantin itu.

Ibu kantin itu masih dalam posisinya, tetapi matanya mencari tempat duduk yang bisa menampung (Namakamu). Dia menghiraukan (Namakamu) yang tertawa melihat seriusnya muka ibu kantinnya ini.

“Siapa nama pemilik sekolah ini, (Namakamu)? Ih … lupa pula aku lah. Bambang? Bolang? Ise kin gelarna, ya? Makana enggo lupa aku.” Ibu kantin itu terdengar kembali berbicara dengan bahasa campurannya, (Namakamu) kembali tertawa.

“Ibu …. Hahaha .. Iqbaal, Bu. Bukan Bambang … aduh .. sakit perut,” ucap (Namakamu) dengan pipinya yang memerah akibat tertawanya yang sangat lucu.

Ibu kantin itupun mengangguk setelah mendengar nama yang sebenarnya, ia mulai menjenjangkan lehernya sedikit. “Oh, Ikbal. Masih bisa di meja ndu tambah orang?” teriakan ibu kantin seketika membuat hening sekitar kantin tersebut.

(Namakamu) yang tertawa pun ikut terdiam, dia bahkan membolakan kedua matanya. “Bu, nggak..—“

Ucapan (Namakamu) terpotong saat mendengar suara berat dari ujung sana. “Masih, Bu.”

Me and My Broken HeartWhere stories live. Discover now