Ingat

135 16 28
                                    

Hanya mereka yang mampu merasa.
Ketika hujan menyentuh ruang rindu.
Ruang rindu akan ingatan masa lalu yang sempat terlupa.

- Jie, Aqilla -

Jie berlari mengikuti Aqilla dengan degupan jantung yang tak karuan. Dengan keberanian yang terus ia bisikkan dalam dirinya, jangan berhenti, teruslah berlari. Kenapa ia harus berada dalam situasi seperti ini? Berlari dalam hujan mengejar Aqilla. Semuanya, memori ini benar-benar membuat Jie ingin berteriak sekencang-kencangnya. Ia mulai merasa lelah terus terjebak dalam trauma masa lalu.

Sambil berlari Jie terus memanggil nama Aqilla berkali-kali. Ia berteriak kencang memanggil nama wanita manis itu, membuat orang-orang di jalanan melihat ke arahnya. Teriakan kencang itu nampaknya tak di dengar, wanita itu sama sekali tak menoleh ke belakang. Ia terus berlari mengikuti seorang anak dan ibu yang ada di depannya. Jie berusaha terus melihat ke depan, ia lihat ke arah kakinya yang berlari sebentar. Terlihat rapuh dan bergetar.

Rasanya Jie ingin cepat-cepat pergi dari hujan. Ia tidak kuat, kepalanya sakit. Mungkin terlihat baik-baik saja dari luar. Tapi, di sana. Di dalam kepalanya berisi banyak kejadian usang di masa lalu yang berputar bagaikan film kusut. Ada suara teriakan, ribut dan tangisan. Seperti orang mabuk, Jie berlari sempoyongan dengan irama napas yang kian kacau.

Jie semakin kalut, ia terus berdoa pada Sang Pencipta Hujan agar dikuatkan. Saat ini, detik ini, karena wanita itu Jie melawan traumanya sendiri pada hujan. Jie tahu, hujan tidak punya salah. Namun, saat itu Jie tidak tahu dan bingung kepada siapa ia harus menyalahkan keadaan. Karena kejadian itulah yang membuat hidupnya benar-benar sulit dan perih. Goresan lukanya bahkan masih terasa hingga kini.

Jie berusaha mengatur ritme napasnya yang kacau. Bukan karena ia lelah berlari, tapi, karena ia berusaha keras untuk berlari di tengah hujan yang cukup deras dengan isi kepala yang semrawut. Kedua kakinya yang panjang memang terus bergerak berlari ke depan, namun pikiran di dalam otaknya hanya terus diam dalam kejadian masa lalu dan berputar acak secara kasar.

Tidak ada hal yang ia pikirkan selain kejadian itu saat ini. Pikirannya benar-benar berhenti di dalam memori perih masa lalu. Rasa sakit yang hanya ia mengerti sendiri. Sekali pun ia menangis dan berteriak tak ada satu pun teman yang datang mendekati apalagi mengerti.

Kedua kaki Jie yang panjang akhirnya berhenti berlari. Kini ia mulai berjalan pelan sambil mengatur napasnya yang semakin pendek.

Ia lihat Aqilla berhenti berlari tepat lima meter di depannya. Wanita itu hanya terdiam berdiri mematung. Tangan kirinya masih betah memegang payung. Dan tangan kanannya terlihat memegang dadanya.

Dan Jie semakin cemas, apa yang dilihat oleh wanita itu?

Jadi, semuanya masih sama?

Jadi, semuanya belum berubah sama sekali?

Pertanyaan itu mulai memenuhi pikiran Aqilla, akhirnya ia sadar akan kejadian berapa belas tahun yang lalu itu. Hujan, payung, darah, keributan dan boneka koala.

"Saya ingat, saya masih mengingatmu Jie," ucap Aqilla di sela-sela tangisnya.

Kedua matanya sudah dibasahi dengan air mata yang mengalir dengan deras. Tak kalah derasnya seperti hujan siang ini. Aqilla bisa merasakan dirinya seperti utuh kembali, ia menemukan kepingan masa lalu yang hilang. Yang selama ini selalu ia lupakan dan hindari.

"Saya masih mengingatmu, Jie," ucap Aqilla lagi kini dengan tangisan yang semakin kencang. Pundaknya mulai bergetar naik turun menahan tangis dan rasa sakit yang mulai menjalar menyerang setiap saraf-saraf tubuhnya.

Rasa ini.

Perasaan ini.

Degupan ini kembali ada.

The Smell After Rain | TELAH TERBITDove le storie prendono vita. Scoprilo ora