Jatuh dan Berhenti

271 26 28
                                    

Sekali pun itu jatuh cinta, aku tak ingin.
Karena yang namanya jatuh tetap saja sakit.
Mau kapan pun atau dimana pun.
Tidak menunggu kesiapan,
cinta memang terkadang datang begitu saja tanpa diundang.

- Jie -

Jie berdiri membeku dari jauh. Melihat sosok itu lagi, untuk kedua kalinya di hari ini. Kedua mata tajam elangnya tak berhenti memperhatikan, objek di hadapannya terlalu menarik perhatian. Ya, terlalu menarik untuk dihiraukan. Ah, tidak. Selama ini ia berusaha untuk menghiraukannya tapi selalu tak bisa.

Ada banyak medan magnet kuat yang mengelilingi wanita pemilik senyum termanis itu. Saking kuatnya hingga berhasil menarik Jie mendekat kembali, yang tadinya ingin menjauh dan mengasingkan diri.

Seketika tekad bulatnya itu hancur berkeping-keping dan hilang terbawa angin entah kemana. Dalam dirinya selalu terjadi pertengkaran batin begitu ia mengingat wanita itu. Lebih dari cukup untuk membuat malamnya beberapa hari ini sedikit terganggu.

Benar-benar seperti orang tolol, Jie terus saja menanyakan pertanyaan yang sama di benaknya. Pertanyaan mengenai perasaannya terhadap wanita itu, yang bahkan tak ingin Jie dengar lagi di telinganya kini. Rasanya panas dan menggelitik.

Sudahlah, Jie terlalu lelah berpikir. Ia membiarkan dirinya terbuai oleh pemandangan indah di hadapannya sekarang. Wanita itu terlihat sedang sibuk berbicara dengan seorang anak kecil dan seorang wanita paruh baya. Mereka bertiga duduk bersama di atas dipan kayu sederhana dengan senyum terukir tulus.

Di bawah atap sebuah rumah yang jauh dari kata layak. Lantainya pun masih terbuat dari tanah, seorang anak kecil itu dan ibunya bahkan memakai baju lusuh. Ada banyak tumpukan kardus, gundukan botol bekas dan dua karung berukuran besar yang ada di samping mereka.

Tanpa sadar kedua kaki panjang Jie melangkah mendekat. Tarikan magnet itu rupanya makin kuat. Namun baru beberapa langkah, ia buru-buru tersadar. Kedua matanya mengerjap seperti baru terbangun dari mimpi. Ia mengurungkan niatnya untuk berjalan menghampiri.

Jie memilih untuk berjalan mundur, kedua kakinya melangkah ke belakang dengan teratur. Setelah menemukan posisi yang cukup aman untuk mengamati. Kedua tangannya mulai sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Ya, sebuah kamera DLSR kesayangannya.

Terukir senyum sinis di ujung bibir Jie. Lihat? Sekarang bahkan Jie melanggar janjinya sendiri soal berhenti menjadi penonton. Begitu berada dekat wanita itu nyali Jie seperti menciut tapi sekaligus panas. Entah, bagaimana ia harus bersikap. Benar-benar membingungkan. Ia sebenarnya ingin mendekat, tapi tak ingin menyakiti. Ah, sulit menjelaskannya. Hanya Jie yang mengerti.

Ia lalu menatap ke atas langit sebentar, melihat cahaya matahari yang cukup terik. Tanpa berpikir panjang, Jie segera memotret objek di hadapannya tanpa ragu. Dalam jarak beberapa meter ini, keahliannya sebagai seorang fotografer semakin terasah. Begitu lensa kamera tertuju pada objek itu dalam mode zoom Jie sempat terpesona sebentar.

Napasnya tercekat di tenggorokan. Membuatnya merasakan sesak beberapa detik. Ia tak mengira, memotret langsung objek yang ada dihadapannya itu ternyata jauh lebih indah dan menarik. Seperti ada tombol otomatis, sel-sel saraf otak Jie mulai merekam wajah seorang wanita manis berparas ayu yang berada di dalam lensa kameranya.

Kedua mata bulat dengan bola mata yang berwarna cokelat, pandangannya teduh dan hangat. Bulu mata yang panjang dan lebat membuat tatapan matanya terlihat menarik. Senyum lebarnya yang sederhana namun memikat. Lekukan detail setiap wajah manisnya, seperti sebuah gambaran.

Jie kini mampu mengingatnya dengan sangat baik, tak samar. Rasanya ia seperti bisa menggambar wanita itu dalam ingatannya sekarang. Ya, Jie akui ia sepertinya sudah lupa akan perkataannya sendiri soal berhenti mengingat masa lalu. Sungguh, ia tak bisa menahan seluruh reaksi tiba-tiba di dalam tubuhnya setiap berada di dekat wanita itu.

The Smell After Rain | TELAH TERBITWhere stories live. Discover now