7.3

600 149 66
                                    

Atreo melangkah pelan menuju garis perbatasan. Demam yang diderita Atreo bukan karena cuaca ataupun lingkungan yang buruk. Tidak butuh waktu banyak untuknya kembali pulih. Terutama ketika dia terbiasa mengatasi demam jenis itu seorang diri.

Mata Atreo menerawang ke daratan kering yang terhampar di hadapannya. Mungkin hanya Atreo satu-satunya orang yang sering mengunjungi perbatasan, berhubung rumahnya memang cukup dekat dengan perbatasan. Hanya bersempadan hutan. Berjalan ke perbatasan tak ubahnya seperti bermain di halaman belakang bagi Atreo.

Kebanyakan orang yang tersisa tinggal di sekitar pusat kota. Kompleks tempat Atreo tinggal mungkin hanya terdiri dari lima atau enam rumah yang dipisahkan pepohonan. Rumah Atreo adalah yang paling ujung.

Tidak sama seperti Atreo, kebanyakan penduduk lebih suka memilih melupakan bahwa kematian mengintai di sekeliling kota mereka. Mereka lebih memilih untuk mengolah sawah daripada mengurus atmosfer apalah. Tidak ada peternak. Tidak ada hewan yang bisa dimakan. Sudah sejak lama Atreo tidak pernah mendapat asupan protein hewani. Sama seperti warga kota lainnya.

Atreo termenung menatap kosong ke depan. Di luar kota ini, kehidupan sangat kering. Atmosfer yang rusak dan badai matahari beberapa tahun silam membuat bumi menjadi sepanas neraka. Dari tempatnya berdiri sekarang saja, Atreo bisa membayangkan betapa panasnya daerah luar sana. Apalagi dia penah keluar meski sebentar, saat mengejar kakaknya, karena itu Atreo tahu. Tanah retak di mana-mana karena tidak ada air dan hawa udara membuat seluruh isi tubuh meleleh saking panasnya. Menguapkan ubun-ubun, mencabut nyawa secara perlahan. Meski tidak terlihat di sekitar kota, tetapi banyak belulang berserakan di kejauhan sana.

Atreo ingat ada beberapa kota yang sebelumnya juga pernah menjadi objek percobaan atmosfer buatan selain kotanya. Tak jauh dari tempat ini, di seberang bekas kota utama, ada satu kota lain jika Atreo tidak salah mengingat.

Meski dibilang tak jauh, sebenarnya jaraknya tetap cukup jauh jika ditempuh. Dari kota ini ke bekas kota utama saja, Atreo harus menuruni bukit yang tentu sekarang sudah sangat terjal dan bisa membuatnya terperosok kapan saja. Penduduk yang melakukan pengorbanan tidak pernah ada yang selamat, Atreo yakin itu. Semuanya mati mengenaskan karena dehidrasi dan kelelahan.

Tetapi jika dipikir lagi, bagaimana kabar kota-kota percobaan itu? Apakah mereka masih bertahan setelah enam tahun? Apakah kota-kota itu ikut mati, menyusul dunia? Ataukah justru berkembang?

Atreo tidak tahu. Yang dia tahu, kalau saja kakak laki-lakinya masih ada sekarang, pekerjaannya mungkin tidak terjebak mencari cara untuk menghentikan laju pengecilan. Tiga tahun adalah waktu yang cukup lama, jadi mungkin saja, jika kakaknya masih hidup, mereka berdua malahan sudah menemukan solusi untuk memperluas jangkauan atmosfer. Mungkin saja.

Atreo menghela napas. Entah sejak kapan isi kepala Atreo hanya tentang atmosfer buatan. Sejauh yang dia ingat, yang pernah dilakukannya hanyalah belajar, berpikir, bereksperimen, berdiskusi, belajar, berpikir, bereksperimen, berdiskusi, dan siklus itu terus terulang kembali.

Jujur saja, Atreo tidak ingat pernah bersenang-senang seperti Lia kecil yang main hujan-hujanan. Sejak kecil, Atreo sudah menempel pada kakak laki-lakinya yang memang hobi berpikir. Terobsesi menyelamatkan bumi yang sudah diambang kehancuran. Membuat hobinya itu menular pada adiknya.

Pemuda itu menunduk, menatap tanah berhumus yang dipijak kakinya. Selangkah saja dia maju, kakinya sudah memijak kekeringan. Sekali angin berhembus dari luar, Atreo bisa merasakan udara menyesakkan dan bau matahari yang sangat panas. Ketika malam tiba, suhu berubah secara ekstrem. Tanah tetap terasa panas karena seharian dipancari sinar matahari, tetapi udara menjadi dingin menusuk, membekukan hingga tulang-tulang. Lebih dari udara terdingin di musim dingin.

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now