Bagian 6 - Perompak

691 151 46
                                    

“Aalisha!”

Seruan itu membuat seorang perempuan berterusan cokelat spontan berbalik. Senyumannya langsung terkembang sempurna.

“Bibi Jael!” Aalisha berlari lalu menghambur ke pelukan seorang wanita bertubuh montok, membuat wanita itu mundur beberapa langkah ke belakang demi menahan berat tubuh Aalisha, yang tidak lain dan tidak bukan adalah gadis yang kini sudah menginjak usia enam belas tahun.

“Haih, kamu sudah hampir setinggi Bibi, saja.” Bibi Jael menepuk-nepuk punggung Aalisha, sementara Aalisha sendiri sudah tergelak senang.

“Bibi sendiri jadi tambah kurus,” balas Aalisha sembari mengurai pelukan. Dia menggenggam salah satu tangan Bibi Jael dan mulai berjalan bersamanya.

“Apanya yang kurus? Aku makan dengan teratur dan lahap, kok!” Bibi Jael mengangkat kepalan tangannya, menunjukkan semangat makan yang dia punya.

Aalisha terkikik. Entah berapa kali Bibi Jael bercerita dengan menggebu-nggebu bahwa perempuan dengan tubuh berisi itu lebih menarik dari wanita yang tubuhnya kering kerontang bak biola. Hanya enak dilihat saja, tidak enak dipeluk-peluk. Pola pikir yang Bibi Jael dapat dari ibunya. Dan itulah yang menjadi salah satu alasan Aalisha menjadi doyan makan juga.

“Bibi dari mana? Baru sampai? Baru dari rumah?” tanya Aalisha.

Bibi Jael terkekeh melihat Aalisha mencoba mencari-cari barang bawaannya. Biasanya jika mereka bertemu di pasar, Bibi Jael memang pasti sudah membawa sesuatu.

“Aku sudah di sini dari tadi, tapi tidak membeli apa-apa, yang ingin kubeli sudah habis. Aku hanya memesan untuk kuambil nanti malam. Pagi ini dermaga cukup ramai, daging-daging jadi lebih cepat terjual habis,” jelas Bibi Jael.

Aalisha langsung menatapnya dengan mata yang berbinar antusias.

“Daging? Kita akan barbeque?” tanya Aalisha cepat.

Bibi Jael melepaskan tangannya dari genggaman Aalisha, kemudian mengacak rambut coklat gadis itu sambil tertawa. Sebenarnya, dibandingkan dengan coklat, lebih pas jika rambut Aalisha dibilang coklat kemerahan. Tetapi entah kenapa gadis itu tidak menyukainya. Dia lebih suka hanya dibilang coklat saja.

“Beberapa malam lalu aku mendapat pesan dari si tua bangka itu kalau kalian akan kembali. Jadi, ya, kita akan barbeque malam ini,” ucap Bibi Jael.

Aalisha langsung bersorak, membuat bibinya tertawa kecut ketika beberapa orang menoleh ke mereka. Tetapi sorakan Aalisha mendadak berhenti ketika dia mengingat sesuatu.

“Oh, ya. Apa Bibi menahan gagaknya?” tanya Aalisha.

Bibi Jael menatap Aalisha dengan salah satu alis yang terangkat. “Gagak pembawa pesan itu?” tanyanya memastikan.

“Iya, gagak itu.” Aalisha mengangguk. Bibi Jael membalasnya dengan gelengan.

“Oh, ayolah. Buat apa aku menahan gagak jelek itu? Aku tidak mau memberinya makan, terutama karena ada si tukang makan yang akan segera datang untuk menghabiskan seluruh makanan di rumah dan namanya adalah Aalisha.” Bibi Jael menjawil ujung hidung Aalisha, membuat gadis itu merengut. “Aahh, seperti Bibi bukan tukang makan, saja,” katanya.

“Memangnya ada apa? Ada masalah apa? Sepertinya aku bisa mencium bau kekacauan di udara pantai ini,” tanya Bibi Jael balik.

“Tidak ada. Hanya saja, dia tidak kembali ke kapal setelah dikirim untuk membawa pesan pada Bibi dan beberapa orang lain,” jawab Aalisha muram.

Dia, gagak itu, rasa-rasanya hampir tidak mungkin tersesat untuk kembali. Dia sudah terbiasa mengelilingi lautan sebagaimana dia mengelilingi sangkarnya sendiri.

[Para] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang