2.1

1.3K 264 85
                                    

“Ma ... maaf, Kak.”

Elsi mengejap, menatap dua anak perempuan kelas sepuluh di hadapannya. Salah satu dari dua anak itu tampak tremor hebat sembari menyengir kecut setelah tidak sengaja menabrak tubuh Elsi dengan tidak terlalu keras.

Merasa dirinya sama sekali tidak terluka, Elsi hanya mengangguk sekilas, lalu berlalu. Meninggalkan kedua adik kelasnya itu, yang salah satunya langsung memeluk yang lain dengan embusan napas dan ucapan menyesal juga syukur yang terlalu berlebihan.

Elsi menghela napas tipis, mencoba tidak ambil pusing dengan tingkah adik-adik kelasnya yang memang seajaib itu. Mereka bercanda dengan berlebihan, tertawa tanpa mengenal tata krama, lalu kemudian menghadapi Elsi seolah-olah menghadapi makhluk paling mengerikan di dunia. Bahkan berbicara dengan kepala sekolah pun, bisa berpembawaan lebih tenang daripada berbincang dengan Elsi. Kecuali untuk beberapa orang tertentu.

Aksa yang baru saja akan keluar dari lobi dan menuju lapangan—menuju ke arah tempat dua pleton yang sedang berlatih—langsung mengurungkan niat begitu sudut matanya mendapati Elsi tengah berjalan dengan angkuhnya. Dagu gadis itu terangkat dan pandangannya lurus menatap apa yang ada di depannya. Menilik dari gelas plastik berisi minuman yang dia bawa, mungkin kakak kelasnya itu baru saja dari kantin.

Aksa bisa merasakan bisik-bisik ramai dari arah lapangan mendadak padam ketika kehadiran Elsi semakin dekat. Mungkin para siswa-siswi berpakaian putih dengan bawahan training hitam seragam itu menyadari keberadaan si ‘predator’. Aksa harus ingat untuk menegur mereka nanti, agar tidak berisik dan lirak-lirik saat di dalam barisan.

Ketika Elsi memasuki area lobi, yang masih diramaikan oleh beberapa pelatih, spontan Aksa mendekatinya. Bukan apa-apa, hanya karena naluri Aksa sebagai ketua pelatih untuk melindungi anggotanya. Dia antisipasi sebisa mungkin agar Elsi tidak mendatangi anggotanya yang Aksa akui masih bermental tahu, sehingga pemuda itu bergerak cepat mendatangi Elsi.

“Siang, Kak.”

Elsi hanya mengangguk sekilas, lalu menatap ke arah lapangan yang kini dipakai pemanasan. Keningnya mendadak mengerut cepat.

“Ck, push-up aja masih kayak lumba-lumba,” gerutu Elsi.

Aksa ikut melirik ke arah lapangan. Untuk yang satu itu, dia setuju. Dia juga merasa ingin marah setiap melihat adik kelasnya melakukan push-up dengan tidak benar—karena jujur saja, tidak ada gunanya melakukan push-up seperti itu. Mungkin, Aksa mulai bisa mengerti sedikit banyak tentang bagaimana Elsi yang mudah sekali marah-marah setiap melihat kesalahan di dalam barisan. Rasanya, mereka—adik-adik kelas itu—seolah-olah menyepelekan tonti, padahal setahun yang lalu, Aksa sepenuh hati meski harus berlatih setiap hari.

“Materi apa hari ini?”

Aksa mengulum senyum kecil. Seperti biasa. Lebih terdengar seperti perintah untuk menjawab daripada bertanya.

“Kami masih akan mengulang pos satu pos dua. Kalau sudah klik, baru akan coba pos selanjutnya,” jawab Aksa mantap. Melihat Elsi mengangguk-angguk kecil, dia tahu dia telah mengambil keputusan yang benar.

“Jalan di tempat sama langkah tegap beda tempo, kan?”

Nyaris Aksa menyengir, jika saja dia tidak segera mengendalikan diri. Elsi sangat jeli, seperti biasanya.

Bukannya Aksa tidak menyadari jika tempo jalan di tempat dan langkah tegap adik-adik kelasnya berbeda. Tapi hanya sedikit, pelatih yang lain bahkan tidak banyak yang sadar. Tetapi dia lupa, seorang mantan danton yang kritis seperti Elsi, pasti jauh lebih peka daripada Aksa yang dulu baris pun ada di trio belakang. Atau setidaknya, tiga trio dari belakang.

“Iya, Kak. Padahal di penjurunya nggak ada yang salah, temponya stabil. Tapi nggak tahu kenapa bisa beda tempo antara yang depan sama yang belakang,” ujar Aksa.

“Coba kamu suruh langkah biasa, terus belok kanan atau kiri. Udah diajarin, kan? Nanti bakal ketahuan siapa yang ngubah tempo. Aku bahkan yakin banget, belok mereka bakal melenting,” ucap Elsi.

Aksa mengangguk-angguk paham. Ingatkan dia untuk melaksanakan saran Elsi. Dia harus segera menemukan siapa yanng tidak menyebabkan barisan selalu rusak selama ini.

Sementara merasa tidak ada kepentingan lagi, Elsi memilih melangkah menjauhi lobi. Dia bergerak menaiki tangga, menuju lantai dua. Meski begitu, sepanjang jalan menyusuri lorong lantai atas, matanya tetap menatap ke lapangan tengah. Mengamati adik-adik kelasnya yang meneruskan perjuangannya di tonti. Sebelum kemudian, pandangannya menjauh ke arah lapangan basket yang sedang digunakan untuk bermain basket.

Bukan menatap pacarnya, melainkan gadis itu menatap kakak kembarnya yang tengah tersenyum lebar setelah melakukan shoot tiga poin yang mulus dan sempurna.

Gadis itu menghela napas tipis, kemudian tersenyum miring saat sudut matanya menangkap siluet sosok yang dia kenal. Dia terus lanjut berjalan, sengaja benar menyenggol bahu sosok itu, dan menumpahkan minuman yang dia bawa ke bajunya.

“Oh, astaga. Ma ...,” Elsi menoleh,” ... af. Aah, kamu ternyata.” Pandangan tajam gadis itu berubah menjadi seperti terkejut, yang tampak jelas hanya dibuat-buat.

“E-Elsi! Pliss jangan hari ini! Gue nggak bawa baju ganti.” Sosok perempuan yang seragamnya sudah basah itu membentak dengan raut gentar.

“Oh, aduh. Udah terlanjur, gimana, dong?” Elsi mengejapkan mata berulang kali dengan wajah yang diimut-imutkan, namun entah mengapa membuat gadis yang ada di hadapannya menjadi semakin gentar.

Anak-anak yang berada di sekitar keduanya, melirik-lirik mencoba mengamati. Takut, jika ketahuan oleh Elsi kalau sedang memperhatikannya, nantinya akan dijadikan bahan bullyan juga. Tetapi di saat bersamaan, mereka penasaran. Apa lagi yang akan dilakukan seorang Elsi hari ini?

“Ah, gue punya ide. Karna udah terlanjur basah, mending sekalian aja, ya?” Elsi lagi-lagi mengejapkan mata dengan tampang dibuat-buat, kemudian mengangat tangannya yang memegang gelas plastik ke atas kepala perempuan yang memang lebih pendek darinya itu.

“El, pliss. Itu coklat bisa bikin rambut gue lengket!” Perempuan berambut agak kecoklatan itu berusaha membentak, menantang tatapan Elsi.

Srrrr

Sementara cairan coklat dari gelas yang Elsi bawa, turun perlahan, membasahi rambut, wajah, dan kemeja putih, seragam perempuan itu. Hingga es baloknya ikut berjatuhan, setelahnya Elsi menjatuhkan gelas plastik itu juga ke atas kepala perempuan itu.

“Aduuh, sori-sori. Gue nggak tahu lo sayang sama rambut lo. Abisnya, lo semir coklat gini, kan, kayak lo lagi ngerusak warna asli rambut lo sendiri, kan?” Elsi menaikkan sebelah alis sembari tersenyum miring pada perempuan yang kini menggeletuknya gerahamnya, tengah marah tetapi tidak mampu meluapkannya.

“Sekali lagi, sori, ya.” Elsi menyejajarkan wajahnya dengan perempuan itu, menampakkan wajah penyesalan yang lagi-lagi, kentara dibuat-buat, kemudian berlalu dengan tenang meninggalkannya.

Netra yang baru saja memandang jenaka pada orang yang baru saja dibullynya, dalam sepersekian detik berubah tajam, seolah tatapannya mampu membelah siapa saja yang menghalangi pandangannya. Membuat semua orang langsung memalingkan wajah dari sang ‘predator’.

|°|°|

Fun facts:

Saya kehabisan fun facts /disepak

Bye bye /disepak lagi

Oh iya, di SMA, senior itu emang punya kesan tersendiri, ya. Apalagi yang dikenal kejam semasa MOS, mau aslinya dia friendly sekalipun, kalo ketemu, bawaannya masih tetep ngeri-ngeri asique gimana gitu (pengalaman nguahaha)

241018-rev

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now