2.2

1.1K 253 45
                                    

Elsi menarik napas panjang, kemudian kembali menguatkan diri dan menaiki satu anak tangga lagi, dengan Elga dan dirinya saling berangkulan. Setelah dua malam tidak pulang, malam ini, papa dari keduanya mengamuk lagi, entah apa alasannya. Mungkin mabuk, karena sekilas Elsi sempat mencium bau alkohol tadi.

Setelah susah payah Elsi menaiki tangga dan menuju ke kamar Elga, dengan sigap dia menuntun kembarannya itu untuk berbaring di atas kasur. Berusaha membantunya dengan meletakkan banyak bantal di bawah kepalanya.

“Lo mending duduk dulu juga, El,” ucap Elga serak. Sebelah matanya yang lebam masih setengah terpejam, sementara matanya yang lain seolah terkantuk-kantuk, mungkin menahan kesadaran yang semakin menipis.

“Gue nggak papa. Luka lo parah banget malem ini—jangan tidur!” Elsi meninggikan suara, bermaksud untuk membuat saudaranya tetap terjaga. Punggung tangan gadis itu terangkat, mengusap dahi yang lagi-lagi terasa dialiri cairan hangat nan kental dengan bau anyirnya yang khas.

“Gue nggak papa, El,” bisik Elga. Napasnya patah-patah, satu dua. Cepat-cepat Elsi keluar kamar Elga sambil mengibaskan tangan yang dialiri darah untuk mengambil kotak P3K di kamarnya, lalu segera kembali.

“Jangan tidur.” Elsi memperingatkan lagi. Sembari menahan nyut-nyutan di kepala, dia cekatan menyiapkan baskom dan air hangat yang dilarutkan garam ke dalamnya, kemudian memeras handuk kecil yang baru saja dia celupkan.

Elsi mengembuskan napas, kemudian duduk di sisi kasur, membantu Elga duduk, membantu melepaskan kancing kemeja putih seragamnya yang sekarang bebercak merah di mana-mana. Dia menelan ludah mendapati banyaknya luka dan lebam yang didapat tubuh kekar saudaranya malam ini.

Dengan perlahan, Elsi mengusap dan membersihkan tubuh Elga. Membiarkan kakak kembarnya itu meringis sembunyi-sembunyi. Terasa ngilu dan perih di setiap bagian. Namun, dia tidak bisa membiarkan adiknya menjadi lebih khawatir lagi. Ini adalah tugasnya sebagai seorang kakak, meski sedikit, dia ingin memastikan adiknya untuk tetap merasa aman karena keberadaannya.

“Ngamuk kenapa lagi, dia?” gumam Elsi pelan. Elga mengangkat bagu, kemudian kembali meringis sakit.

“Buat orang nggak waras kayak dia, perlu alasan buat ngamuk?” balas Elga.

Keheningan kemudian kembali menyelimuti keduanya. Membiarkan Elsi membersihkan tubuh Elga yang memang sangat parah jika dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya.

Elsi berdiri, mengambilkan kaos untuk Elga setelah pekerjaannya selesai, memakaikannya pada kakaknya, lalu membantunya kembali tidur.

“Besok lo nggak usah berangkat dulu,” ujar Elsi.

“Kalo gue nggak berangkat, nggak ada yang bakal bantuin Ira ngebersihin diri. Nggak ada yang ngasih dia pinjeman kemeja,” jawab Elga dengan mata terpejam. Seluruh tubuhnya terasa kaku, sakit jika digerakkan.

Elsi mencebik.

“Udah gue bilang, nggak usah peduli lagi sama tu cewek. Ini udah konsekuensi dia cari gara-gara sama keluarga gue,” geram Elsi.

Ira adalah satu dari beberapa korban bully Elsi di sekolah. Bukan tanpa alasan. Ira ini dulunya cukup hits di sekolah, sampai bisa berpacaran dengan Elga yang notabene wakil kapten basket, salah satu cowok famous yang terkenal dengan sifat ramahnya. Tapi, pernah dia sekali menyebar gosip tidak enak tentang Elga setelah putus, membuat Elsi mau tidak mau merasa geram ingin memberinya pelajaran.

Sebenarnya, semua korban bully Elsi memiliki alasan yang sama untuk dia bully; sama-sama pernah menyinggung nama Elga dengan sesuatu yang buruk, apapun itu. Seperti, membahas lebam di wajah Elga yang pernah terlihat beberapa kali. Lalu mengutarakan hipotesis yang tidak enak di hati.

Meskipun, tidak ada yang menyadari jika sebab itulah yang membuat Elsi mem-bully mereka. Tidak ada yang menyadari keduanya kembar. Selain karena beda kelas, mereka juga berbeda jurusan, yang kelompok ruangan kelasnya terdapat di gedung yang berbeda.

Dan, karena mereka tidak identik.

“Bukannya gue peduli, gue cuma sok-sokan peduli. Siapa tahu dia kepincut lagi sama gue, biar bisa gue bales campakkin dia nantinya,” ujar Elga. Dia membuka mata.

“Daripada ngurusin orang-orang nggak berguna macem Ira, mending lo urus diri lo sendiri. Putusin Edo. Gue tahu dia serius sama lo, tapi orangtuanya enggak. Dia bakal dijodohin sama temen kerja Papa bentar lagi. Kalo dia tahu lo pacaran, mampus lagi kita,” lirih Elga. Elsi mengembuskan napas.

“Lo tenang aja,” jawab Elsi singkat. Tidak memberikan jawaban pasti atas pernyataan yang saudaranya berikan. Gadis itu mengusap dahi yang lagi-lagi dialiri cairan kental dan hangat.

“Sana gih, bersih-bersih. Wajah lo udah merah semua.” Elga kembali memejamkan mata.

Elsi menatap Elga sekali lagi, lalu membereskan barang-barang dan kembali ke kamarnya. Dia membersihkan diri. Membersihkan luka-luka di kepala dan sekujur tubuhnya. Membenamkan paksa wajahnya ke air es untuk menyamarkan lebam-lebamnya.

Elsi menghela napas, lalu menatap ke luar jendela setelah selesai berpakaian. Malam ini bintangnya tampak banyak dan jelas, tetapi dia sedang tidak mood untuk duduk di kosen jendela dengan kaki menggantung ke luar kamar, menatap langit malam. Dia merasa sangat lelah, baik secara fisik maupun mental.

Gadis berambut panjang itu menatap jalanan lengang yang tampak jelas dari arah kamarnya. Setelah sekian lama, dia kembali memikirkan tentang hal itu. Memikirkan tentang kabur, melarikan diri dari rumah yang terasa seperti neraka ini.

Jujur, Elsi sudah mempersiapkan segalanya. Elsi sudah menabung sejak lama agar dia punya modal jika akhirnya benar-benar minggat nanti. Dia juga sudah tahu ke mana dia akan pergi, ke sebuah kos-kosan yang agak terpencil dari perumahannya, tetapi tidak begitu jauh jaraknya dari alun-alun kota. Tempat yang ramai, strategis untuk melarikan diri dari seseorang. Diam-diam, Elsi bahkan mencoba berwirausaha, dia sudah terpikir bagaimana menunjang kehidupan nanti.

Satu yang menghambatnya selama ini. Elga.

Saudaranya itu tidak akan pergi dari rumah ini. Seberapa keras pun Elsi nanti mencoba membujuknya, saudaranya tetap tidak akan mau. Elga masih sanggup bertahan di rumah ini, agar saat mamanya kembali nanti, Mama tahu masih ada yang menunggunya di sini.

Elsi menghela napas. Jika Elga tidak pergi, maka Elsi juga tidak. Bukan berarti dia tidak berani berada di luar sana sendirian, melainkan karena dia tidak akan pernah meninggalkan Elga. Satu-satunya keluarga yang masih sangat berharga baginya. Dia tidak akan meninggalkan Elga dan membuatnya menanggung sendirian semua akibat dari emosi labil papanya.

Elsi menatap pagar rumah dengan tatapan kosong, mencoba menghilangkan angan untuk bisa melewati batas rumah itu tanpa perlu kembali lagi. Dia kemudian berbalik, menuju kasurnya sendiri. Persetan dengan keluarga yang hangat dan bahagia. Lingkungan itu sudah hilang dari harapannya sejak lama.

|°|°|

Fun facts:

Saya suka anak kembar xD Itulah kenapa sebenernya saya banyak bikin cerita yang melibatkan anak kembar XD

091118-rev

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now