Bagian 2 - 'Predator'

1.8K 293 114
                                    

"Kelurusannya di jaga!"

"Putri senyum!"

"Angkat rata-rata air! Jangan males! Jangan bikin gerakan tambahan!"

"Nggak usah mainan bibir!"

Seru-seruan dari suara yang sama itu menggema di lapangan sekolah. Panas terik sudah berubah menjadi cahaya kemerahan, tetapi seruan itu tidak juga mulai terdengar seraknya.

"Hentiii! Grak!"

Tap.

"Kayak gini mau ikut lomba?! Baris aja kalian masih kalah sama bebek! Heh, kamu! Nggak usah garuk-garuk! Mau ada ulet mau ada semut, biarin aja! Kamu kira nggak kelihatan dari sini?! Satu gerakan tambahan kecil aja, kalian udah dapet pengurangan poin kalo ini udah lomba!"

Siswa-siswi berbaju olahraga yang berbaris rapi di lapangan sekolah, membentuk dua pleton yang berbeda, masing-masing menelan ludah. Peluh sudah membanjir di setiap bagian tubuh mereka, tetapi latihan hari ini tidak ada habisnya juga. Belum lagi, teriakan-teriakan mencekam dari kakak kelas dua belas mereka—yang entah kurang kerjaan atau memang sudah merasa pintar, dia lebih memilih untuk mengurusi tonti ketimbang belajar untuk UN di hampir tiga bulan mendatang.

"Pos satu, pos dua, semuanya masih berantakan! Nggak pleton putra, nggak pleton putri! Semuanya sama aja! Tempo maju jalan masih kecepetan! Jalan di tempat, apalagi! Ini tinggal H-2 minggu! Kalian sadar nggak sih, kalian bawa beban nama sekolahan di pundak kalian?!"

Kakak kelas berambut panjang yang lurus dan hitam itu berjalan mondar-mandir di antara barisan pleton putra dan pleton putri, menimbulkan suara yang mengintimidasi dari ketuk pantofel yang dipakainya.

"Nggak usah lirak-lirik! Pandangan lurus ke depan!"

Yang merasa baru saja melirik, dalam sepersekian detik langsung mengarahkan pandangan kembali lurus ke depan. Dia langsung mengatur napas dalam diam, sibuk mengatur detak jantungnya yang terasa menggema karena bentakan kakak kelasnya barusan.

Sementara itu, Aksa—seorang ketua pelatih tahun ini—langsung mendekati kakak kelasnya ketika melihat perempuan itu menghela napas. Sudah cukup hafal akan kebiasaannya, ketika sudah membuang napas dengan sedikit pasrah begitu, biasanya akan memilih untuk menyingkir dari lapangan. Menyudahi kegiatan mengawasi latihan tonti.

"Udah berapa lama intensif?" Ketimbang pertanyaan, penyataan itu lebih terdengar seperti perintah untuk Aksa harus menjawab.

"Baru seminggu ini, Kak," jawab Aksa tegas.

"Buat lomba paling enggak tiga bulan. Dua bulanlah, paling sedikit. Intensif tiga minggu itu nggak ada apa-apanya."

Aksa terdiam.

"Kalo nggak berani ngomong ke kepsek, biar saya yang ngomong. Ganti kepsek harusnya nggak bikin tonti makin mlempem kayak gini. Ikon sekolah kita itu tonti. Kalo tonti mundur, kita punya apa? Pelatih angkatan kalian kurang koordinasi sama pelatih kelas dua belas."

Aksa—yang memang masih kelas sebelas—memilih untuk diam mendengar kritik kakak kelasnya.

"Ng, Kak. Kalau mulai besok kita mau ambil jam pelajaran, menurut Kakak, gimana?"

Aksa melirik ke arah salah seorang teman perempuan seangkatannya yang baru kali ini ada yang berani angkat bicara selain dirinya. Temannya itu terlihat kentara menutupi kegugupan, terbukti dari tangannya yang tidak bisa tenang.

"Nggak. Latihan tonti itu nggak harus lama, tapi sering. Menurut lo, dua minggu lo ngeforsir tenaga mereka dari pagi sampe sore, bakal kayak gimana jadinya? Malah hancur di hari-H!"

[Para] Tentara LangitNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ