•Part Twenty Eight•

652 28 0
                                    

*author note: aku ga tau yaaa kalo ini lagunya pas atau ngga yg pastinya pas lgi nulis cerita ini aku smbil dengerin lagu ini hehe. Silahkan didengar enak kok laguny hehe*

Buliran air mata kini sudah mempijakkan di atas bangunan itu. Beatriz menatap Darrel tak percaya. Kenapa ia bisa begitu lupa kalau ini sudah menjadi sifat yang melekat di raga Darrel? Kenapa ia bisa begitu larut padanya? Kenapa ia bisa begitu bodoh dan dibodohi?

Beatriz menggeleng-geleng, "Rel, gue benci sama lo. Jangan harap lo bisa ketemu lagi sama gue. By the way, makasih ya udah nutup kembali pintu hati gue yang padahal udah gue buka lagi cuma buat lo. Makasih banyak udah nunjukkin sifat asli lo hari ini. Untung aja lo udah nunjukkin jadi gue, gue, gue..." Beatriz pun bangun dan segera berlari meninggalkan Darrel yang masih mematung di tempatnya. Ia begitu tidak peduli dengan ucapan Beatriz tapi apakah benar yang diucapkan Beatriz saat dirinya mulai kembali membuka pintu hatinya hanya untuknya? Hanya untuknya? Hanya untuk seorang Darrel William?

Entah harus menyebut dirinya begitu bodoh atau tolol tapi Darrel sangat cocok disebut keduanya karena menyia-nyiakan gadis yang rela membuka hatinya kembali untul kedua kalinya. Karena membuka kembali lembaran baru dengan seseorang yang dulu pernah bersama kita tidaklah mudah dan butuh langkah-langkahnya.

Beatriz kini berada di tangga yang menuju ke kelasnya langsung. Ia berhenti dan menangis. Ia tidak menyangka kalau ini yang akan terjadi. Semua sudah berakhir. Tidak ada lagi kata 'kita' bersama Darrel. Kini semua sudah tidak ada lagi, hilang begitu saja, lenyap seperti abu yang diterpa angin dan dan pelangi yang datang lalu pergi tanpa pamit.

Tubuh Beatriz menempel pada dinding dan perlahan turun sampai ia menyatukan kepalanya yang sengaja ia taruh di lutut. Isakan terdengar di seluruh lorong tangga itu. Tiba-tiba terdengar langkah seseorang sampai orang itu berhenti di depan Beatriz namun Beatriz tidak peduli. Mungkin atau memang Beatriz tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang berdiri di depannya saat ini.

"Lo jelek kalo lagi nangis, aib banget mukanya," ucapnya. Beatriz tahu suara siapa itu.

"Pergi Rian!" Titah Beatriz tanpa mengubah posisinya. Rian pun berjongkok dan mengambil sapu tangannya. Tangannya perlahan memegang pipi Beatriz dan menaikkannya.

Perlahan sapu tangan itu mengusap-usap kedua pipinya Beatriz yang berlinang air mata.

"Udah jangan nangis kata gue juga. Lo jelek kalo nangis, dibilanginnya susah banget sih."

Beatriz terenyuh. Menurutnya kenapa Rian begitu baik padanya? Bahkan Beatriz selalu cuek padanya.

"Kenapa?" Tanya Beatriz. Rian menatap kedua pemilik mata hazel itu.

"Kenapa lo baik sama gue?"

Rian tersenyum, "seperti kata Dilan pada Milea, 'aku belum suka kamu, ga tau kalo sore' juga 'Milea sepertinya aku sudah jatuh cinta padamu' maybe itu yang mulai gue rasain. Sama kaya perasaan Dilan ke Milea itu juga sama kaya perasaan gue ke lo sekarang. Lo ngerti kan?"

Beatriz mengerjapkan kedua matanya. Apakah ia tidak salah dengar? Apakah Rian baru saja menyatakan perasaannya padanya? Bahkan mereka belum saling kenal, mereka hanyalah dua orang yang bertemu karena suatu alasan. Alasan yang tidak terduga dan diluar logika.

***

Disisi lain, Lauren melihat Dilan yang sedang membanting-banting bangku, menendangnya, dan lain lagi.

Finesse (1) {Completed}Where stories live. Discover now