Chapter 11 - Hug from stranger

Börja om från början
                                    

"Buka," perintah William dengan nada datar, tanpa paksaan. Tapi entah kenapa, justru hal itu membuat Margo terpengaruh. Dia nyaris membukakan pintu kalau saja ia tak lupa soal penipuan yang marak tadi.

"Tidak. Aku tidak bisa membukakan pintu ke sembarang orang, di saat aku tak yakin kalau kau adalah teman Daniel." Margo menjawab dengan jujur, meski dia seperti merendahkan diri sendiri. Ya, wanita mana yang tidak pernah bertemu atau setidaknya mengetahui wajah sahabat dari pasangannya sendiri? Bukankah nasib Margo terdengar menyedihkan?

"Aku tidak mungkin bisa masuk ke dalam sini sembarangan." William menjelaskan. "Aku benar-benar teman Daniel."

"Tapi ucapanmu tak cukup untuk membuktikan itu semua." Margo membantah lagi, nyaris tertawa karena wajah William yang awalnya datar agak berubah cemberut. Meski hanya sedikit sekali perbedaannya, tapi Margo bisa menyadari hal tersebut.

William menarik napas, seolah kesal, tapi wajahnya sama sekali tak menampakkan kekesalan. Lelaki itu merogoh ponselnya yang terletak pada kantong kiri celananya, dan menekan beberapa nomor sebelum menempelkan benda pipih itu ke telinganya yang sebelah kanan.

Lama, William seolah menunggu Daniel menjawab telepon. Well, tapi Margo tahu ... Daniel tak akan mengangkat. Kan lelaki itu tadi mengabaikan telepon Margo, mana mungkin dia mengangkat telepon dari William bukan?

"Dia tidak--" Margo baru saja hendak memotong kegiatan William, memberitahu lelaki itu kalau tindakannya adalah sia-sia. Daniel sedang sibuk sekarang, dan seperti biasa sepertinya lelaki itu rapat atau sedang ada meeting penting. Penderitaan Daniel sungguh bertambah berkali-kali lipat sejak Gabriel pergi. Itu yang Margo pikirkan pada awalnya sampai dia mendengar ... suara Daniel.

"Kenapa?"

William menggunakan loudspeaker sehingga Margo juga bisa mendengar suara dari ponselnya itu dengan jelas. Hanya satu kata, tapi hatinya berhasil terluka. Hanya sekilas, tapi hatinya hancur lebur seperti kepingan gelas.

Jadi daritadi ... Daniel bukannya sibuk hingga tak bisa mengangkat telepon Margo, tapi lelaki itu ... mengabaikannya?

Setelah membuat Margo bahagia dan senang, dia menjatuhkan Margo lagi? Untuk kesekian kalinya?

"Aku mengantar dokumen. Tapi istrimu tak percaya kalau aku temanmu," ucap William menjelaskan keadaan yang ada. Sedangkan Margo berusaha fokus pada pembicaraan mereka, meski hatinya lagi-lagi retak, karena orang yang sama.

"Kupikir ada hal yang penting karena kau tidak pernah meneleponku. Well, jika Margo tak percaya, maka kau bisa menunjukan foto kita, tidak perlu sampai meneleponku. Aku sedang makan siang." Daniel menjawab lagi, dan kali ini Margo benar-benar kecewa.

Makan siang? Di luar? Bersama orang lain?

Bahkan setelah membuat Margo menunggu sendirian, Daniel masih bisa ... berbicara sesantai itu seolah tak ada beban dan rasa bersalah?

"Aku tidak peduli," ucap William yang kemudian mematikan teleponnya sepihak. Lelaki itu menekan-nekan ponselnya lagi, sebelum kemudian membuka sebuah foto dan mendekatkannya ke arah intercom. Di sana, ada Daniel, si William ini, dan dua orang lelaki tampan lainnya tengah duduk bersebelahan di sofa sebuah ruangan. Margo tak tahu pasti di mana ini, tapi dilihat dari penampilan dan cara mereka bergaya, sepertinya mereka tidak berfoto di sembarangan tempat.

"Sudah percaya?" William bertanya lagi, lalu lelaki itu memasukan ponselnya kembali. "Sekarang buka."

Terpengaruh, Margo langsung menekan salah satu tombol yang membuka pintu apartment-nya. Lelaki ini memang teman Daniel, dan Margo meragukannya tadi. Seharusnya dia merasa bersalah bukan? Tapi, sekarang pikiran Margo tengah terbagi dua karena perilaku dan ucapan Daniel barusan. Dia masih tak habis pikir, kenapa bisa Daniel sebegitu teganya dengan Margo?

Apa kehadirannya ... sungguh tak berarti? Sama sekali?

Bahkan untuk satu persen pun ... tidak?

"Aku letakan di sini." William sudah masuk dan berjalan ke ruang tengah, meletakan amplop cokelat itu di atas meja, tapi Margo masih merenung. Iris hazelnya menatap lurus ke depan, sedangkan semua anggota tubuhnya terasa membeku. Jantung Margo berdebar-debar kencang, bukan karena gugup ataupun sedang jatuh cinta, melainkan ia ... merasa kalau ada perasaan aneh yang saat ini sedang singgah di dalam dirinya.

Bukan kecewa, bukan amarah, juga bukan kesedihan. Tapi ini lebih terasa seperti ... sakit karena dikhianati.

Rasanya hampir setiap hari Margo menangis karena tingkah laku Daniel yang membuatnya tersakiti, hingga air matanya nyaris mengering. Tapi entah kenapa, sekarang matanya malah kabur karena berkaca-kaca. Tentu saja dia tak ingin menangis, apalagi saat ini sedang ada William yang notabenanya adalah teman Daniel.

Margo tak ingin menunjukkan kelemahannya, terlebih pada lelaki yang tak ia kenal sama sekali. Dia malu. Tapi ... bagaimana ini? Air matanya bahkan sudah mengalir terlebih dahulu, di saat dia belum sadar dengan apa yang terjadi.

Margo mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha menahan rasa sesak yang menghinggapi hati. Wanita itu hendak berbalik dan meninggalkan William karena enggan menunjukan sisi lemahnya. Dia ingin mengurung diri seperti biasa, dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja kemudian. Rutinitas menyakitkan, yang nyaris menjadi makanannya setiap hari.

Kaki Margo baru hendak berjalan satu langkah, sampai tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan karena tangannya ditarik ke belakang. Tubuhnya memutar dengan gerakan mendramatisir dan lambat, hingga untuk sesaat Margo merasa bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Hingga, wangi kopi yang maskulin menyeruak masuk ke dalam hidung Margo. Sebuah tangan kekar dan hangat memeluk tubuhnya erat, serta mengelus punggungnya lembut, seolah menenangkannya dan membiarkannya melampiaskan semua emosi di sini.

"Menangislah."

Satu kata yang singkat, tapi mampu merobohkan semua benteng pertahanan Margo. Ya, lelaki yang memeluknya adalah William. Margo tak mengerti bagaimana dan kenapa lelaki asing ini bisa memeluknya? Tapi untuk sekarang ... dia tak peduli.

Margo hanya ingin menangis. Karena seberapa pun kuatnya dia ... pada akhirnya dia hanya wanita biasa yang ingin cintanya terbalas, meskipun perjalanan untuk meraih cinta itu sendiri akan menjadi ajang menyakitkan, yang mungkin akan membuat salah satu atau keduanya pergi. Saling meninggalkan, satu sama lain.


***

Hem ... apa kalian mencium bau-bau perebutan pasangan di sini?

wkkwwkkw

jangan lupa meninggalkan jejak.

follow instagramku : blcklipzz (double z)




[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Där berättelser lever. Upptäck nu