Dua puluh satu

33 14 13
                                    

-----
Mana yang harus gue pilih?
Mempertahankan walaupun gue nggak tau perasaan lo?
Atau melupakan seolah-olah gue nggak pernah jatuh cinta sama lo?
-----

Suasana di hari rabu ini sungguh terasa berbeda. Matahari yang sedari tadi bersinar terik pun sepertinya tidak akan mengubah suasana menjadi buruk. Tentu itu adalah hal baik, bahkan mungkin telah dikategorikan ke dalam hari terbaik.

Erin memakan keripik singkongnya dengan lahap. Satu per satu dikunyahnya pelan-pelan. Mengecapi setiap rasa yang bercampur menjadi satu dalam setiap gigitannya. Mulut gadis itu bergoyang-goyang menikmati keripik singkong yang menjadi snacknya.

Hembusan angin menampar-nampar pipi Erin lembut, gadis itu masih di sana. Duduk sampai gigitan terakhir keripik singkong itu. Perlahan, dijilatinya sisa-sisa bumbu yang berada di sela-sela jarinya, menepuk-nepuk kedua tangannya lantas membuang bungkus tersebut ke tempat sampah.

Tak ada yang berbeda dengan Erin. Rambut kuncir kuda dengan poninya, gaya duduk yang selalu tegak, serta cara jalannya pun masih sama. Namun kali ini, tak ada gadis cerewet yang menemaninya. Nayla pergi ke perpustakaan sekolah guna membaca.

Tadinya gadis itu ingin mengikuti sahabat satu-satunya itu ke perpustakaan, walau mungkin hanya tidur yang bisa ia lakukan di tempat tenang itu. Erin hampir saja melangkahkan kakinya mengikuti Nayla, namun lambaian tangan seseorang mengubah haluannya.

Dan, di sinilah ia. Duduk tenang seraya menikmati pemandangan anak-anak klub basket SMA Pelangi yang sedang melakukan latihan rutinnya.

“Eriiiiinnnn! Awaaaassss!!!” suara itu menggema memasuki gendang telinga Erin. Gadis itu menoleh, memastikan hal apa yang membuat anak-anak meneriakinya. Matanya menyipit kala melihat benda yang melayang tepat ke arahnya. Waktu seakan melambat sebelum akhirnya gadis itu jatuh di bawah teriknya mentari.

“Rin, Erin! Erin!” suara cowok itu masih bisa Erin tangkap, namun, pusing di kepalanya seakan tak kunjung menghilang.

“Bawa aja ke UKS!” ucap cowok pemakai sepatu berwarna hijau terang itu mencoba memberi usul.

“Iya, gue bakal bilang ke Pak Anton kalau ada yang pingsan,” ucap cowok di samping cowok bersepatu hijau terang itu, setelahnya ia pergi guna menemui pak Anton selaku pembina ekskul PMR.

“Lo sih! Main tendang aja. Udah tau basket, eh ini malah ditendang.”

Berisik!!

Meski matanya terpejam, Erin masih berusaha untuk tidak kehilangan kesadarannya. Setidaknya sebentar untuk mengetahui apa yang terjadi padanya. Suara itu memang sangat mengganggu, berisik namun tidak ada tindakan untuk menolongnya.

Erin mengeluh, merasakan nyeri bercampur pusing di kepalanya. Seakan ada sesuatu di kepala gadis itu yang menghantam keras bahkan ia sedikit terkejut kala seseorang berusaha merangkul bahunya lantas membawanya pergi dari kerumunan anak-anak klub basket tadi.

***

Erin membuka kelopak matanya perlahan, membiarkan cahaya memasuki retina matanya. Ia mengeluh sesaat kala dirasanya kasur empuk yang berada di UKS itu terasa menyakitkan punggungnya. Kasur itu memang empuk, saking empuknya bahkan Erin sampai bisa merasakan kerasnya kayu yang menjadi penyangga kasur di ruangan itu.

Kedua mata gadis itu mengerjap-ngerjap, berusaha melihat ruangan yang telah ditempatinya beberapa jam lalu. Langit-langit yang berwarna biru laut membuatnya merasa lebih tenang setelah keributan yang didengarnya saat di lapangan tadi.

Apa cuma gue yang di UKS? tanya Erin sesaat setelah kedua matanya terbuka sempurna. Gadis itu bergeming. Ketika tak ditemukannya suatu petunjuk apapun, kepalanya kembali berdenyut, membuatnya berpikir akan memejamkan matanya kembali. Namun, ekor matanya malah menangkap jam yang tergantung manis di dinding.

PromiseWhere stories live. Discover now