Satu

234 68 104
                                    

-----
Bahkan, mesin waktu atau jejak rekaman yang kutinggalkan pun tak bisa mengubah arah pandangmu
-----

Farrel kembali merapatkan mantelnya, menaruh tangannya di saku mantel, berharap udara di sekitar dapat menghangat.

Ia bangkit, kembali menatap langit dengan pandangan kosong.

"Gelap."

Satu kata yang diucapkannya sebelum butiran salju pertama turun dan mulai membasahi pipinya.

"Salju pertama."

Kembali ia menggumam, pikirannya menerawang ke 10 tahun yang lalu. Merekam dengan jelas sosok ibunya yang tertabrak oleh sebuah truk dengan muatan batu-batu didalamnya.

Ia masih ingat ketika tubuh wanita tua itu tertabrak dan terpental jauh untuk menyelamatkan dirinya.

"Aku merindukanmu, Bu."

Farrel kembali berbicara menatap kosong ke arah butiran-butiran salju yang turun, berharap keajaiban datang kepadanya.

***

"Aku pulang." teriak Farrel seraya meletakkan mantel tebalnya di sofa dan segera berlari menuju dapur. Ia menuang air putih dan segera menenggaknya habis.

Lama ia melamun hingga akhirnya sosok wanita tua yang membawa nampan sedang itu pun melewatinya begitu saja, wanita itu adalah Anggun, adik dari ayah Farrel.

"Arga belum mau makan, Ma?" tanyanya cepat yang membuat wanita itu menolehkan kepalanya, ia menaruh nampan itu di meja dan segera menatap lelaki yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri, dapat dilihat ada kesedihan di wajah tuanya yang mulai keriput itu.

"Iya, Arga belum makan dari pagi. Mama khawatir sama dia. Bisa nggak kamu ke atas sebentar? Mungkin kamu bisa jelasin ke dia baik-baik."

Farrel sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menghembuskan napasnya kasar, ia tahu ini memang salahnya.

"Ini emang salah Farrel. Coba aja Farrel punya mesin waktu."

"Sssshhhttt. Kamu nggak boleh ngomong kaya gitu. Kematian itu sudah takdir Tuhan. Jangan terus-terusan nyalahin diri sendiri."

Lelaki jangkung itu bungkam, perkataan Anggun langsung menohok ulu hatinya. Beliau benar, ia harus bisa menerimanya, tidak, bukan hanya dirinya saja, tapi Arga juga harus bisa menerimanya.

"Iya, Ma. Makasih ya, Ma. Mama selalu ada di sisi Farrel," ujarnya seraya memeluk wanita itu erat.

Setelah adegan peluk-memeluk, akhirnya Anggun melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda oleh pertanyaan keponakkannya, tak butuh waktu lama, ia pun langsung berbalik mengambil makanan dan minuman lalu membuangnya ke tempat sampah. Sedetik kemudian wanita itu kembali menatap Farrel yang berdiri mematung lantas berkata,

"Sekarang tunggu apa lagi?"

"Ya udah, Farrel ke atas dulu yaa, Ma. Mama emang yang terbaik." ujar Farrel spontan yang membuat semburat merah muncul di kedua pipi Anggun.

Senyum mengembang di wajah lelaki yang baru memasuki usia 16 tahun itu, sekali lagi ia memeluk Anggun, berpamitan kepadanya bahwasanya ia akan menemui kakak tirinya.

"Udah sana." Anggun mengibas-ngibaskan tangannya di depan Farrel, menyuruhnya agar segera ke kamar atas.

"Iya, iya, Mama cerewet." ucap Farrel.

Anggun hanya bisa tersenyum dan menatap nanar pada punggung Farrel yang mulai menjauh, berlari kecil sambil sesekali menengok ke belakang, membuat Anggun tersenyum tanpa henti.

***

Farrel menghembuskan napasnya kasar, sudah sepersekian kalinya ia mengetuk pintu itu. Tetap saja, tak ada sahutan ataupun suara yang dihasilkan dari balik pintu besar itu.

"Ga, buka pintu kamar lo. Gue mau bicara. Lo nggak boleh kaya gini terus Ga."

Hening, Farrel mencoba memberanikan diri untuk membuka pintu itu.

Tidak dikunci.

"Ga, lo baik-baik aja kan? Please jawab gue, gue tau gue salah sama lo, tapi nggak seharusnya persaudaraan kita hancur gara-gara masalah ini."

Farrel mencoba melihat sekelilingnya, hening dan lembab. Maklum, Arga tidak pernah membiarkan tubuhnya terkena cahaya matahari semenjak insiden itu. Namun sayang seribu sayang, pikirannya tidak sedewasa usianya. Sejak hari itu, ia tak membolehkan siapapun masuk ke dalam kamarnya, meskipun kamar itu sudah terlihat seperti kapal pecah.

Samar-samar Farrel melihat sosok lelaki itu, lelaki tampan dengan lesung pipi di wajahnya. Arga sangat bersinar. Sekarang, Farrel tak pernah melihat sinarnya lagi.

Lelaki itu tengah meringkuk di pojok kamar, banyak botol-botol alkohol dan putung rokok tersebar di sana. Arga menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Rasa bersalah itu kembali muncul tatkala Farrel mendengarnya menangis dan terus menggumamkan kata-kata yang sangat memilukan.

"Kenapa Ibu udah pergi duluan? Apa aku cuma jadi beban buat Ibu? Ak.. "

"Ga.. " Farrel memotong omongannya, dan entahlah kekuatan mejik apa yang mempengaruhi Arga sehingga ia bisa mengangkat kepalanya untuk melihat adik satu-satunya itu.

Terlihat rambutnya yang acak-acakan ditambah mata elangnya yang sembab dan juga masih ada sisa-sisa air mata yang mulai mengering. Arga mulai mengernyitkan dahinya seolah berkata.

"Ngapai lo di sini?"

Tak lama setelah aksi tatap menatap itu, akhirnya Farrel membuka mulutnya, namun belum sempat ia mengatakan sesuatu, Arga sudah lebih dulu melontarkan kata-kata yang sangat tegas dan memaksa.

"PERGI!!!!"

Tegal, 25 Februari 2018

---

Gimana? Penasaran??
Ini masih permulaan kok. Tenang...
Untuk cast, nggak ada yaa.. kalian bebas menghayal seperti apa tokoh dalam cerita ini.
Bebas sebebas-bebasnya meskipun cast korea lebih masuk menurutku..
Muehehe 😂
Abis gimana yaa, mau cari cast bingung. Kalau ada castnya, pengin artis Indo, tapi nggak tau yang cocok karena juga nontonnya drakor mulu.
Ya sudahlah, yang penting cast sesuaikan dengan imajinasi kalian aja.

See you. Love, ❤
Ashaalia 😙

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang