Empat belas

46 22 35
                                    

-----
Takdir terkadang mempermainkan seseorang layaknya boneka.
Melayangkannya lantas menjatuhkannya hingga tak terlihat.
-----


Erin menatap layar handphonenya resah. Sudah berkali-kali ia membaca ulang, namun hasilnya tetap sama. Tulisan di pesan whatsapp yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal tetap tak berubah.

Lo pulang bareng gue. Jangan berani kabur!

Erin tahu siapa pemilik nomor asing tersebut. Siapa lagi kalau bukan cowok songong itu. Namun yang membuatnya panasaran adalah dari mana Farrel bisa mendapatkan nomornya? Nyogok Nayla? Kayanya nggak deh.

"Aduh!! Bodoh banget sih lo!" ujar Erin setengah berteriak seraya menepuk jidatnya keras yang sontak membuat pasang mata menoleh ke arahnya semua.

Aduh, mati gue!!

"Kenapa Erin?" tanya bu Sri curiga.

"Nggak, Bu. Nggak papa," elak Erin cepat.

"Kalau kamu tidak memperhatikan pelajaran saya, lebih baik kamu keluar sekarang juga!" Bu Sri menatap Erin ketus. Buku tebal serta kacamata yang bertengger di wajah bu Sri membuatnya terkesan dingin.

"Iya, Bu. Maaf." Erin menunduk. Hampir saja ia ditendang keluar kelas oleh bu Sri, guru fisika yang kalau baik ya baik tapi jika sudah marah, galaknya nggak ketulungan lagi deh.

Nayla hanya bisa menggelengkan kepalanya berkali-kali melihat tingkah Erin yang selalu ceroboh. Sedangkan Erin hanya bisa menunduk menatap kembali layar handphone yang menampilkan pesan dari Farrel.

Dahi itu semakin berlipat kala Erin berpikir keras bagaimana caranya agar tidak bertemu atau pulang dengan cowok itu. Bagaimanapun juga ia sudah menjahili cowok itu. Bodohnya lagi ia baru ingat jika kemarin dengan sukarela ia meminjamkan handphonenya sesampainya di rumah.

Dan tentu kalian tahu apa yang terjadi saat itu.

Pencurian nomor telepon secara illegal.

Iya, illegal. Karena udah nyuri, secara diam-diam pula. Double illegal malah. Mending kalau lewat temen atau stalk ig dsb, kan itu lebih baik, pikir Erin sederhana.

***

"Nay, cepet dong. Kalo lo nggak cepet, gue bakal mati," ucap Erin gusar. Kini ia sudah berdiri di samping Nayla yang tengah membereskan peralatan tulisnya. Erin memegang tali tasnya erat.

"Nay, cepetan. Gue mau mati nih," ucap Erin lagi. Ia sudah tak tahan, tangannya kini mengguncang-guncangkan tubuh Nayla keras.

"Aduh, mpok Endon. Sabar. Kalau lo terus gangguin gue, kapan gue selesainya?" Nayla menatap Erin ketus sebelum akhirnya kembali merapikan alat tulisnya.

"Aduh, nggak bisa cepetan yaa?"

"Gue udah cepetan, sayang."

"Lo makannya diem deh," lanjut Nayla memaksa, mau tak mau Erin mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Udah. Ayo!!" Erin yang saat itu cemberut kini tersenyum bahagia. Ditariknya tangan Nayla untuk segera melangkah meninggalkan kelas secepatnya.

Erin hendak lewat gerbang belakang sekolah karena menurutnya Farrel akan menunggunya di parkiran sekolah. Namun anggapan itu salah. Baru saja Erin dan Nayla keluar dari kelas dan hendak ke gerbang belakang, mereka telah dihadang oleh Farrel.

Duh!

Erin hendak putar balik dan memilih keluar lewat gerbang depan namun gerakannya terhenti. Ia sudah tau pasti rencana ini gagal. Takut-takut, Erin menoleh. Benar saja, lagi-lagi tasnya dicekal Farrel. Erin tersenyum kikuk.

PromiseNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ