Sebelas

45 28 40
                                    

-----
Luka dapat sembuh namun bekasnya akan selalu ada.
Sekuat apapun usaha untuk menghilangkannya.
-----

Erin menatap lantai kamar mandi kesal. Heran, sudah hampir 30 menit menjalankan hukuman, namun nyatanya ia sama sekali tidak melihat perubahan pada toilet ini.

Pantes nggak ada yang berani melanggar aturan di sekolah ini.

Orang hukumannya juga macem begini!!

Erin bergidik ngeri, membayangkan hukuman yang lebih parah dari ini saja sudah membuatnya lelah. Hatinya bergemuruh. Seluruh perasaan mulai dari capek, marah, kesal, sedih bercampur aduk menjadi satu.

Ia menatap Farrel. Untung cerita mimpi anehnya tidak sampai didengar. Hanya saja akhirnya cowok itu semakin menjulangkan lehernya mengingat ia mengira bahwa Erin dan Nayla tengah membicarakan ketampanannya.

Memang sih, warga SMA Pelangi mengakui ketampanan anak baru itu, terutama cewek-cewek di sekolahan ini. Mungkin, hanya Erin yang merasa Farrel biasa-biasa saja. Mungkin, entah nanti.

Bahkan melihat wajah tak berdosa Farrel saja sudah membuatnya muak. Ingin sekali ia membawa Farrel hidup-hidup dan memanggangya sampai gosong.

Berani-beraninya tuh cowok masih ngotot nggak bersalah setelah membuat keributan di kantin kemarin. Meskipun ia juga bersalah, tapi siapa coba biangnya?

Nggak bakal ada asap kalau nggak ada api.

Tadi, saat mereka sedang membersihkan toilet, Erin mengomel pada Farrel. Ia sudah berusaha menahan luapan lumpur panas yang hendak keluar dari mulutnya, namun melihat wajah anak itu selalu membuatnya lepas kendali.

Namun, beberapa detik tadi, saat Erin mengomel, alih-alih merasa bersalah, Farrel malah semakin membuat kesal. Bahkan, perkataan Farrel benar-benar membuatnya tercengang bukan main. Dan kali ini ia sudah membulatkan tekad bahwa julukan yang pantas untuk cowok itu adalah....

Cowok Sinting.

“Kenapa sih lo seneng banget cari gara-gara?”

Erin mendengus. Kedua tangannya sudah bertengger di pinggang. Siap menerjang Farrel yang berdiri tak jauh darinya.

“Oh gue tau!!” sudut bibir Erin terangkat, didongakkannya kepala menatap Farrel.

Bahkan di saat-saat seperti ini ini, cowok itu hanya melirik Erin tak acuh lalu kembali mengelap cermin di depannya.

“Lo suka gue kan? Ngaku!!” ujar Erin penuh percaya diri. Entahlah, ia pun tidak tahu mengapa hanya itu yang ada di pikirannya. Dagunya terangkat, kedua matanya memicing menatap punggung Farrel.

Gerakan tangan Farrel terhenti saat ia mendengar tuduhan tak masuk akal yang dilontarkan Erin. Ia berbalik, menatap heran gadis yang tengah berkacak pinggang itu.

“Lo gila ya? Yang ada juga lo yang ngefans sama gue.”

Erin menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia masih bertahan pada teorinya.

“Nggak mungkin. Pasti ada apa-apa. Lo suka banget cari gara-gara sama gue. Sekarang banyak kok yang cari perhatian cewek dengan cara buat tuh cewek jengkel.”

“Nih yaa. Pasang kuping lo baik-baik. Sampai kucing gue bertelur juga gue nggak akan sudi suka sama lo,” ujar Farrel nyolot. Matanya menatap mata coklat Erin nyalang. Siap mengobarkan pertempuran saat itu juga.

“Ah gue tau!!” Farrel menjentikan jarinya ke udara. Matanya berbinar menyadari kemungkinan terbesar yang hinggap di otaknya. Erin mendengus kesal namun tak pelak juga merasa penasaran.

PromiseWhere stories live. Discover now