Jungkook melebarkan mata, menjabat kedua tangan sang profesor dengan bungkukan hormat yang berulang-ulang. "Kau tahu 'kan, hyung, kau adalah panutanku. Aku senang jika kau mengerti. Sampai nanti, Profesor," katanya girang sebelum berlari menyongsong pintu dan berteriak sambil melompat-lompat. Kemudian sibuk berdeham saat seseorang memergokinya dalam keadaan setengah sinting.

.
.
.

Hari itu Minggu. Jungkook mendapati sebuah pesan singkat di layar ponselnya dan berniat untuk mengabaikannya. Tetapi ketika matanya secara tidak sengaja melirik, tubuhnya seketika terlonjak dan menghasilkan suara jengit tipis dari ranjang yang didudukinya.

From: Taehyung
Aku memikirkan saranmu. Jadi, permohonan keduaku; jalan-jalan di akhir pekan?

Jungkook mengerjap beberapa kali, meyakinkan diri bahwa ia benar-benar dalam keadaan sadar dan tidak sedang bermimpi. Meski Taehyung menyebutnya sebagai jalan-jalan di akhir pekan, tetap saja itu terdengar seperti kencan di telinganya.

To: Taehyung
Call. Kirimkan alamatmu, kujemput.

.
.
.

"Tidak ah, aku benci ketinggian." Taehyung menolak mentah-mentah saat Jungkook mengajaknya bermain di area bungee jumping. Lalu memutar tubuh dan berjalan menuju gerai ice cream tidak jauh dari sana. "Kau saja, Jungkook. Aku akan menunggu sambil makan ice cream."

Jungkook menyukai permainan yang menguji adrenalin. Tetapi daripada semua itu, Jungkook lebih senang menghabiskan waktu bersama Taehyung. Jadi ia memutuskan untuk ikut berputar dan mengekor di balik punggungnya.

Mereka sudah mengelilingi Seoul semenjak pagi. Mulai dari wisata kuliner, membeli souvenir dan beberapa gelang pasangan, bersepeda di sepanjang pinggiran sungai Han, sampai mengunjungi wahana-wahana bermain yang ada. Dan Jungkook mengabadikan segala kegiatan mereka hari itu di dalam kamera miliknya.

Jungkook juga mengajarinya beberapa teknik dasar pengambilan gambar. Foto pertama yang ia ambil adalah penampakan Jungkook yang berdiri menyamping di pinggiran sungai, bersisian dengan sepeda sewaannya yang terparkir. Jungkook tidak perlu bersusah payah untuk terlihat tampan di setiap gambar.

Taehyung terus melihat-lihat hasil jepretan hari itu selagi menunggu pesanan datang. Ia kemudian menyadari satu hal, isi kamera Jungkook tidak lagi dipenuhi oleh foto-foto semanggi, melainkan potret dirinya dalam beragam ekspresi. Termasuk sebuah gambar yang menampilkan raut bodoh miliknya; separuh mulut terbuka dan kedua mata yang melebar. Taehyung bahkan tidak ingat kapan dia bereskpresi seperti itu.

Taehyung baru akan menghapus gambar itu secara diam-diam ketika kamera di tangannya tiba-tiba saja ditarik paksa oleh pemiliknya. "Mau apa?"

"Hapus foto itu, Jungkook. Aku terlihat bodoh di sana," pinta Taehyung dengan raut memelas. Tetapi Jungkook malah memandangi potret itu dan menggeleng.

"Tidak, kok. Wajahmu terlihat lucu. Biarkan aku menyimpannya, ya?"

Taehyung menghela nafas berat, namun pada akhirnya tetap membiarkan. "Ya sudah, deh."

"Omong-omong, Yeontan itu siapa?" Jungkook bertanya, tiba-tiba saja teringat pada insiden di toilet tempo dulu.

Taehyung mengangkat alis, keheranan. "Bagaimana kau tahu soal Yeontan?"

"Aku pernah mendengar kau menyebut nama itu," jelasnya lugas.

"Dia anjing peliharaanku. Aku menitipkannya pada Jimin sebelum membuat janji denganmu. Kau tahu Jimin? Pemuda pendek yang selalu bersamaku."

"Aku tahu Jimin. Yang aku tidak tahu, ada hubungan apa di antara kalian?"

Taehyung mengernyit. Ia merasa aneh dengan getaran samar pada suara Jungkook yang membuatnya secara naluriah ingin menyangkal jauh-jauh apapun yang tengah pemuda itu pikirkan. "Kami hanya teman. Jimin sudah kuanggap seperti saudara."

"Jadi, kalian tidak pacaran?" Jungkook bertanya lagi untuk memastikan.

"Tentu saja tidak. Itu aneh."

Jawaban itu membuat Jungkook membuang nafas lega. Ia tidak sadar telah menahan respirasinya. Di tengah-tengah pemikiran itu, Jungkook merasakan sesuatu menarik tangannya agar terulur. Taehyung menempatkan selembar daun semanggi terakhir di atas telapak tangannya.

"Aku merasa cukup dengan semua kesenangan ini," katanya menjawab sedikit pertanyaan yang berputar di dalam kepala Jungkook. Taehyung mengukir senyum. "Terimakasih karena telah melakukan semua ini untukku, Jungkook."

Jungkook memilih diam. Ia menikmati setiap waktu yang dilewatinya bersama Taehyung, dan berharap itu tidak pernah berakhir. Akan tetapi Taehyung melakukan sebaliknya, bertentangan dengan apa yang ia harapkan.

"Kau juga, buatlah sebuah permohonan. Dan aku akan mengabulkannya untukmu." Taehyung membuat penawaran. Dan Jungkook pikir, ini adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Mungkin ini terlalu cepat, tapi tidak untuk Jungkook, sebab diam-diam ia sudah menyimpan perasaan terpendamnya semenjak lama. Jadi Jungkook putuskan untuk mengaku. Sekarang atau tidak selamanya.

"Aku berharap kau mengetahui perasaanku." Jungkook menggenggam daun semanggi di tangannya erat-erat, menekan kegugupan yang ia rasakan saat ini. "Aku menyukaimu, Taehyung," Jungkook berdeham canggung. Bersyukur ketika pesanan mereka tiba di saat yang luar biasa tepat. "Hanya itu harapanku."

Jungkook menjilat bibirnya, sementara Taehyung memandanginya dengan raut tak terbaca. Jungkook tidak menggunakan ticketnya untuk membuat Taehyung terpaksa menerima pengakuannya.

Pemuda itu bersiap untuk menyuapkan satu sendok penuh ice cream ke dalam mulut ketika sebuah tangan menahannya.

"Hanya itu?"

"Ya?"

"Benar hanya itu?" Taehyung bertanya kembali untuk memastikan. Jungkook mengangguk ragu sebagai jawaban. "Kau tidak memintaku untuk menerima pengakuan itu?"

"Tidak, jangan. Aku tidak mau kau melakukannya karena terpaksa. Kau tidak harus, jadi jangan pernah berpikir untuk—"

"Aku tidak merasa begitu." Taehyung menginterupsi.

Jungkook tergugu dalam diam. "Jadi, kau mau?"

"Mau apa?" Taehyung bertanya usil.

Jungkook mengerang gemas. "Taehyung, please."

Taehyung tertawa ringkas, mengulum senyum sebelum menjawab. "Yes, sir. Permohonan dikabulkan."

.
.
.

fin.

YoursWhere stories live. Discover now