BAB 25

1.7K 126 36
                                    

Pesan-pesan antara Mil dan Max sungguh membuat Max jealous. Ia menjadi tahu sekarang, alasan Mil terlonjak senang dan bergegas pergi ke kamar tanpa mengingat handphone nya yang ia biarkan tergeletak di atas sova. Menurut Sam, Mil memang merasa senang kali ini. Dan menurut Sam, ia tak salah jika merasa cemburu kali ini. Kehadirannya di dekat Mil sekarang sepertinya tidak membawa dampak apapun bagi Mil. Cewek itu tetap bersikap biasa saja terhadap Sam--sama seperti ketika mereka masih kecil, dan sikap Mil terhadap Max tidak terlihat biasa-biasa saja--sama pula seperti mereka masih kecil. Dengan raut wajah yang datar dan rasa getir yang menguasai tubuhnya, Sam meletakkan kembali handphone Mil di sova. Ia kemudian duduk di sova itu--sambil menonton televisi--agar terlihat oleh Mil seolah Sam sudah menonton televisi sedari tadi.

Cowok itu menyadarkan punggungnya pada permukaan sova lalu mendengus pelan. Pandangannya memang hanya tertuju pada layar televisi yang sedang menampilkan iklan suatu produk, namun tidak bisa di pungkiri jika pikirannya hanya tertuju pada Mil--atas pesan-pesan antara Max dan Mil yang baru saja ia ketahui.

"Sam?"

Seseorang menyadarkannya tiba-tiba--dari lamunan yang terjadi padanya meskipun hanya beberapa detik. Dia adalah Mil, cewek yang sudah berganti pakaian dengan tema casual: casual dress putih yang dipadukan dengan jeans jacket yang bagian lengannya dilipat hampir mencapai siku. Mil juga mengenakan sepatu converse warna putih serta memangul ransel kecilnya yang berwarna putih pula. Rambut panjang cewek itu sengaja terurai saja. Polesan make up yang ia kenakan hanya natural--sama seperti ia berangkat ke sekolah.

"Baru sekarang gue lihat lo hari ini," Mil tersenyum kecil.

Sam yang secara spontan mendongkak ke arah cewek itu sedari tadi lantas tersenyum pula, ia tidak mau Mil melihat wajahnya yang murung. Sangat beruntung sekali, Sam bisa menyembunyikan raut wajah yang sebenarnya.

"Kamu mau kemana?" Sam bertanya--mencoba merubah suasana menjadi terkesan baik. "Rapi banget."

"Jalan sama Max," Mil masih menjawab dengan tersenyum. "Gue duluan ya. Minta masakin sama Mbak Ijah aja kalau lo laper."

"Oh iya," Max mengangguk samar.

"Oke, bye!" lalu setelahnya, Mil melangkah dengan santai menuju pintu utama rumah--ia harus pergi ke rumah Max sekarang. Untung saja rumahnya dengan rumah Max hanya bersebrangan.

Tetapi, Sam tiba-tiba terpikir akan sesuatu. Ia lantas menoleh ke arah Mil yang masih terlihat di pandanganya. "Milena!" Sam berucap spontan, lalu bergegas menghampiri cewek itu.

Karena Sam menyebut namanya, Mil lantas menghentikan langkahnya dan berbalik ke belakang.

1 detik..

2 detik..

3 detik kemudian..

Sam mendekap erat tubuh Mil. Tanpa membutuhkan izin dari Mil ataupun berbicara sepatah dua patah kata pun, Sam langsung mendekap erat tubuh cewek itu--sehingga membuat Mil terlonjak kaget.

"Tolong bertahan sebentar dengan posisi ini," Sam berucap pelan. "Biarkan saya peluk kamu untuk beberapa detik."

Selama beberapa detik, Sam ingin melakukan hal ini. Ia mendekap tubuh Mil dengan mata yang terpejam--sama seperti ketika ia memeluk Mil kemarin--saat pertama kali ia datang ke Indonesia. Kini Sam bisa mencium aroma rambut Mil yang terasa seperti bau buah-buahan, ahh Sam jadi teringat pelukan pertamanya dengan Mil kemarin.

***

Drukkkk!!

Barang-barang yang yang terletak di atas meja belajar Vania habis terbanting semua, ketika Julio--Ayah Vania--sedang marah. Dirinya dan Vania kini sama-sama berada di dalam kamar Vania--dengan situasi yang menegangkan, bak bintang buas yang ingin menerkam mangsanya.
Julio lah binatang buas itu, sementara Vania yang merupakan anak kandung Julio yang menjadi mangsa dari binatang buas tersebut.

"Berani-beraninya kamu pulang di atas jam lima sore!" ungkap Julio kesal. "Kamu juga tidak masak untuk Papah!"

"P-p-pah, Vania mau jelasin kejadian yang sebenarnya," Vania mulai terisak-isak, dirinya tak kuasa menahan tangis yang selalu ingin keluar apabila Papahnya sedang marah.

"Papah nggak butuh penjelasan kamu!" Julio menolak kasar. "Tanpa kamu jelasin Papah juga tahu kalau kamu memang pengin ikut langkah Mamah kamu, jadi perempuan jalang!"

"Nggak Pah!" Vania semakin terisak. "Vania nggak pernah punya niat jadi perempuan seperti itu. Papah harus dengerin penjelasan Vania dulu, Pah." cewek itu tidak tahu lagi harus meyakinkan Papahnya bagaimana, dia betul-betul hanya bisa menangis saat ini. Tentunya hal ini sudah sering terjadi padanya.

"Kalau Papah bilang nggak ya nggak!"

Plakk!

Sebuah pukulan mendarat sempurna di permukaan wajah Vania. Ini adalah pukulan kesekian kalinya bagi Vania--hasil dari tamparan Papahnya sendiri. Vania memang sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, tetapi, setiap kali ia harus berhadapan dengan situasi seperti ini, ia pasti akan menangis sederas-derasnya dan merasa tertekan--sungguh, hal itu murni yang dirasakan oleh Vania, tanpa berani menceritakan kepada siapapun terkecuali dalam buku diary nya.

"Kamu tidak boleh pergi kemana-mana besok setelah pulang sekolah! Papah yang akan menjemputmu!" Julio berkata lantang lagi. "Kalau Papah lihat kamu masih berhubungan dengan laki-laki tadi, kamu bisa tahu apa yang akan Papah lakukan terhadap kalian berdua!"

Setelah kalimat ancaman itu, Julio keluar dari kamar Vania dengan menutup pintu kamar secara kasar--terdengar sangat nyaring pintu tersebut ketika di tutup, karena Julio membantingnya dengan sangat keras.

"Mah, Vania pengin ikut sama Mamah," Vania bergeming dalam hati, sambil terisak-isak dan terduduk di atas ranjangnya.


***

gue lagi suka main games nih🙈
komen ya guys, desc/rate (?)😂
ntar gue reply komentar-komentar kalian, semuanyaaa gue balesinn😁

Max & Mil [Completed]Where stories live. Discover now