BAB 22

1.9K 129 20
                                    

Author POV (Point Of View)

Suara deringan yang berasal dari ponsel milik Dave sangat mengganggu Dave saat ini. Dirinya yang tengah mengerjakan tugas-tugas kuliah terpaksa berhenti dari aktivitasnya—hanya untuk mengangkat sebuah panggilan masuk. Alis Dave menyerngit sempurna usai melihat deretan nomer telepon yang tidak diketahuinya milik siapa. Namun, Dave tetap akan mengangkat panggilan itu. Karena ia menanggap jika itu mungkin saja nomer telepon temannya atau mungkin nomer telepon orang yang ia kenali.

"Hallo?" Dave mulai membuka percakapan dengan sang penelpon.

"Sekarang juga, di kafe yang kemarin. Bisa?"

"Lo—," Dave terdiam sebentar, mencoba mengingat suara sang penelpon. Rasanya ia pernah mendengar suara itu, oleh karenanya lah ia tidak merasa asing. "Lo yang gosipin Mil di kafe malam kemarin 'kan?"

"Syukur deh, lo ingat sama gue."

"Ya ingatlah. 'Kan gue yang minta lo buat ngehubungin gue," Dave terenyum miring, tanpa menyadari jika orang yang menelponnya tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.

"Buruan ke kafe itu lagi sekarang. Gue bakalan jawab pertanyaan lo yang kemarin! Dan lo harus penuhin kesepakatan kita!"

"Sorry, lo lupa?"

"Hah? Lupa apaan maksud lo?"

"Gue 'kan mintanya dinner. Bukan ketemuan biasa kayak gini."

"Lo ngajak gue nge-date, bukan dinner!"

"Apa bedanya sih dinner sama nge-date?" Dave mendadak terkekeh pelan.

"Ah, lo jangan banyak bacot deh! Buruan temuin gue di kafe yang kemarin, sekarang! Atau kalau nggak, gue nggak akan jawab pertanyaan lo yang kemarin!"

Saluran telepon pun terputus.

Dave melihat sesaat kearah layar ponselnya—memastikan apakah sambungan telepon itu benar-benar terputus atau tidak. Ternyata, memang benar-benar sudah terputus. Dave tidak merasa kesal karena terputusnya sambungan telepon itu, dia justru tersenyum kecil—seraya menggeleng samar. Ia merasa lucu saja mendengar perkataan cewek yang menelponnya tadi. Entahlah, mungkin ini kali kedua Dave mendengar dia mengomel lagi—setelah kali pertama mereka bertemu, itu juga kali pertama Vania mengomel padanya.

Dave bergegas memasukkan buku-bukunya kedalam ranselnya kemudian meninggalkan perpustakaan kampus—tempat ia melanjutkan pendidikan setelah SMA, seperti saat ini. Cowok itu juga bergegas menuju tempat parkir untuk mengambil motornya. Setibanya ia disana, Dave segera mengenakan helm dan meninggalkan tempat parkir dengan menaiki motor miliknya—menembus jalan raya yang lumayan padat. Cuaca hari ini terlihat mendung, Dave menambah kecepatan gas dan berhati-hati ketika melintas dijalan raya. Dia memang takut terjebak hujan, takut juga terkena kecelakaan lalu lintas. Oleh karenanya lah, Dave sangat berhati-hati.

***

Segelas red velvet ice yang Vania pesan baru saja diletakkan pelayan kafe diatas meja. Vania mengucapkan terima kasih terlebih dulu sebelum sang pelayan pergi. Setelah itu, ia menunggu seseorang seraya menyandarkan punggugnya pada permukaan kursi kafe. Ditariknya napas secara pelan-pelan, lalu menghembuskannya. Ini sudah pukul 15:46, dan Vania sangat mengantuk rasanya. Mungkin efek dari begadang tadi malam baru ia rasakan sore ini. Ah, betapa kesalnya ia harus menahan kantuk disituasi seperti ini.

Ketika Vania hampir saja memejamkan matanya, seseorang tiba-tiba hadir dihadapannya—duduk berhadapan dengannya seraya tersenyum manis. Vania spontan memelototkan matanya ketika menyadari siapa yang baru saja datang. Ternyata orang itu adalah orang yang Vania tunggu sedari tadi, Dave.

Max & Mil [Completed]Where stories live. Discover now