BAB 12

2.3K 148 44
                                    

Padatnya jalan raya di pagi hari membuat beberapa anak-anak sekolah khawatir jika mereka telat datang ke sekolah. Jika mereka telat, itu artinya mereka akan dikenakan sanksi dari guru yang bersangkutan-biasanya yang sering memberi hukuman terhadap siswa yang telat datang ke sekolah itu adalah guru piket yang bertugas sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Ini adalah hari Senin, hari dimana sebanyak 67% siswa-siswi membencinya-bahkan beranggapan jika untuk menuju hari Minggu sangatlah lama, tetapi untuk menuju hari Senin sangat-sangat cepat. Jika dilihat dalam 100%, sebanyak 42% siswa-siswi mengeluh karena kurangnya hari libur, 38% lainnya menikmati saja dengan adanya peraturan ini, dan 20% nya semangat bersekolah agar dapat bertemu dengan kekasihnya-khusus bagi mereka yang memiliki kekasih di satu sekolah yang sama.

Guru piket yang bertugas di hari Senin adalah Pak Merdi-bisa dibilang sebagai guru ter-angker di SMA Model. Buktinya, pada pukul 06:02 sekarang, beliau sudah menjaga di depan gerbang sekolah--memberi kode keras agar para murid yang baru saja tiba di sekolah, segera masuk ke dalam dan berbaris rapi di lapangan utama sekolah untuk mengikuti kegiatan rutin upacara bendera seperti biasanya.

Pak Merdi dengan kayu rotan andalannya tengah sibuk di depan gerbang sekolah. Beliau ditemani oleh Pak Seno dan Bu Meta yang menjabat sebagai security di SMA Model. Dengan ganas plus sangar nya, mereka mengawasi siswa-siswi di depan gerbang-sembari memelotot pada siswa maupun siswi yang tidak mengenakan atribut lengkap; kaos kaki putih yang berukuran sekurang-kurangnya sepuluh sentimeter, sepatu hitam, dasi ber-logo SMA Model, topi ber-logo SMA Model, rok pendek berukuran selutut mereka-bagi siswi-dan seragam putih lengan pendek yang dilengkapi bet SMA Model untuk para murid.

"Hei, kamu!" Pak Merdi memelotot lalu melangkah menuju salah satu siswa yang baru saja memasuki gerbang sekolah. "Kenapa pakai sepatu warna cokelat ke sekolah? Kamu amnesia dengan peraturan sekolah?"

Kepala siswa itu sedikit menunduk-demi menghindari tatapan tajam Pak Merdi.

"Jangan jawab pertanyaan saya dengan alasan sepatu kamu kotor lagi!" Pak Merdi mempertegas ucapannya. "Hari Jumat, Sabtu dan Minggu bisa kamu manfaatkan untuk mencuci sepatu mu. Jadi, tidak ada alasan jika kamu belum sempat mencuci nya!"

Sorot mata Pak Merdi kemudian beralih pada name tag yang terpampang pada seragam sekolah bagian kanan-sedikit ke atas. Ia membaca nama siswa yang tertera pada seragam yang dikenakannya.

"Regan Daniello," ujarnya. "Kamu kelas berapa?"

"Sebelas IPA satu, Pak," siswa yang bernama Regan Daniello sedikit menjawab dengan gugup. Dia masih ragu untuk menatap wajah Pak Merdi.

"Seharusnya posisi kamu sebagai kakak kelas itu menunjukan contoh yang baik untuk adik kelasnya! Jadi anak kelas sebelas saja tingkah laku mu sudah seperti ini, gimana nanti kalau kamu jadi anak kelas dua belas?!" Pak Merdi memekik keras. Bagi Regan, apa yang diucapkan Pak Merdi sudah termasuk dalam kategori pidato yang amat menyebalkan untuk didengar.

"Jangan masuk ke kelas! Kamu berdiri di samping orang-orang yang tidak mengenakan atribut sekolah sepertimu!" kata Pak Merdi lagi, sambil menunjuk ke arah beberapa siswa dan siswi yang telah berdiri di dekat gerbang sekolah, sedari tadi.

Dengan kesal, Regan melangkah menuju komplotan orang-orang yang sudah dipastikan akan kena hukuman pada hari itu.

Lain lagi dengan Mil, dia dan Max sudah mempersiapkan diri di lapangan utama untuk mengikuti upacara bendera. Khusus hari Senin, mereka akan selalu berangkat lebih pagi-demi menghindari acara telat datang ke sekolah lalu mendapatkan sanksi. Jadi, sejak kelas sepuluh, belum pernah terdengar nama Milena Alexandria Tsabitha dan Max Dino Bramasta tertulis di dalam buku catatan siswa-siswi yang telat datang ke sekolah ataupun tidak mengenakan atribut lengkap.

Max & Mil [Completed]Where stories live. Discover now