“Dengan syarat, segera pergi dari sini setelah saya menjabat tangan anda?” tawar Elsi, yang terdengar lebih seperti perintah. Pria di hadapannya tersenyum. Sebuah senyuman yang lempeng dan menawan, membuat Elsi terdiam sesaat. Dia menggelengkan kepala pelan, kemudian membalas jabatan dengan enggan.

Tetapi kemudian Elsi menatap tajam pria di hadapannya ketika  pria itu tidak juga segera melepaskan jabatan tangan. Gerahamnya bergemeletuk saat genggaman itu semakin erat, tetapi kerutan segera tercipta di keningnya saat udara di belakang pria itu mendadak beriak dengan tak wajar. Beriak layaknya air.

Mata Elsi membeliak menyadari dirinya ditarik ke dalam riakan udara. Sesaat dia pikir matanya akan perih karena air, tapi yang dia temui adalah rasa pedih karena angin yang berhembus menelisik rongga mata, sebelum udara seolah berubah hampa dalam sekejap dan dia tertelan dalam kegelapan total. Selama sesaat, Elsi seolah kehilangan pikiran dan perasaan, seolah ruhnya dicabut, untuk kemudian dikembalikan dengan cepat hingga terasa seperti gelas yang ditumpahi air dari ember dan penuh begitu saja. Gadis itu menelan ludah, merasakan dadanya ditalu-talu dari dalam, terdengar menggema di kegelapan total yang sangat ganjil, kegelapan yang membuatnya serasa buta karena tidak mendapati apapun meski matanya terbuka lebar.

Di mana ini?

Secercah cahaya kecil kemudian terlihat, namun bergerak cepat dan membesar dan semakin cepat hingga menerpa Elsi, membuatnya spontan memejamkan mata karena silau yang seperti akan membuyarkan tubuhnya. Segera setelah cahaya di pelupuk mata berkurang, gadis itu membuka mata, berkedip-kedip cepat membiasakan diri dengan cahaya di sekitar yang lebih temaram dari yang seharusnya.

Elsi menenggak ludah, menoleh, dan langsung menarik tangannya saat sadar masih digenggam. Dia spontan melompat mundur dari pria di sebelahnya, kemudian menggeram, “Siapa Lo sebenernya?”

Pria yang tidak dia ketahui namanya itu melengkungkan senyum. “Aku adalah penjemput,” ucapnya.

Elsi mengerutkan kening, kemudian menoleh cepat ketika sudut matanya menangkap hal yang tidak wajar. Dia memutar pandangan, syok mendapati dirinya dikelilingi hutan lebat yang tidak pernah dia sangka masih ada sebelumnya—maksudnya kan, dia pikir hutan lebat benar-benar sudah punah kecuali di Amazon sana, mungkin. Jantung gadis itu bahkan sepertinya sudah jatuh ke kaki saat melihat sepasang gerbang besar dari kayu di belakang pria anehnya, dan gerbang itu bergerak terbuka secara perlahan. Gerbang kayu yang rasanya dua kali lipat lebih besar dari gerbang kayu milik Kastel Arendelle—kalau kau tahu kerajaan mana itu.

“Gue pasti lagi mimpi,” gumam Elsi dengan suara tercekat.

“Bukan mimpi, Nona. Anda ada di sebuah sekolah kehormatan Ballard,” ucap si pria aneh.

Elsi mungkin sudah tidak mendengarkan, karena sepasang netranya fokus men-scan pemandangan maha megah yang tersuguh. Sebuah kastel super besar berdiri gagah di bawah sinar matahari, memantulkan sinarnya dengan kemilau emas yang melapisi seluruh dinding kastel. Gadis itu rasanya merasakan pening saking matanya merasakan takjub, atau lelah melotot terkejut mengira dirinya sudah gila dan terjebak halusinasi semata. Sebuah bendera raksasa berwarna merah terkibar-kibar di atas kastel dan menampakkan gambar aneh yang tersulam—mungkin sebuah simbol atau apa.

“Nona, mari masuk.”

Elsi mengejap dan terengah, pelan saja, seolah dia habis piket kelas dengan terburu-buru, meski nyatanya dia bahkan tidak bergerak sama sekali dari tempat. Dia menggeleng, mengejap-kejapkan matanya yang berkabut.

“Gue di mana tadi?” gumam Elsi sambil mengernyitkan dahi.

“Sekolah, Nona.”

“Sekolah,” beo Elsi dengan suara yang hanya telinganya yang bisa mendengar.

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now