"Dan kau sering menginjak kakiku," canda Ewan.

"Lalu kau menciumku, Marshall..." lanjut Lidya. Ia mendekat dan mengecup pria itu lembut, "Dan sekarang aku yang menciummu."

"Dee..."

"Apa yang kita miliki dulu, terlalu sempurna untuk menjadi nyata, Marshall." Lidya mengusap dada Ewan lembut dengan gerakan agak gemetar sementara ia menahan agar air matanya tidak jatuh. Lidya harus memaksa dirinya untuk mengatakan hal ini, satu-satunya hal yang dari dulu ingin di katakannya. "Aku tidak pernah merasa papa menginginkanku, terlepas siapa kau dan seperti apa keluargamu, kau membuatku merasa di ingini. Dan...kau peduli padaku. Kau memberiku ratusan kenangan bodoh yang berubah menjadi manis..."

Lidya tertawa pelan.

Ewan tidak mendebat wanita itu, ia tahu Lidya ingin mengungkapkan seluruh emosi yang di tahan oleh wanita itu. Ia tahu... bahwa selama ini wanita itu masih menyimpan ratusan emosi di balik tubuhnya yang mungil. Dan yang bisa di lakukan Ewan sekarang adalah menerima luapan itu dengan kedua lengannya yang masih memeluk pinggang wanita itu.

"Dan aku berpikir kau bisa hidup tanpa aku."

"Nyatanya aku mengalami kesulitan," sanggah Ewan tanpa melepaskan wanita itu.

"Tapi aku tidak tahu, tepatnya aku tidak ingin mengetahui hal itu." Lidya meneguk saliva-nya dan mengerjap-kerjapkan matanya agar tidak menangis. "Aku pikir... hanya aku yang terluka, kalau hanya itu aku masih bisa bertahan. I'll stand up and fight, but when everything comes about you...It's become grey, cause you're my colour."

Tatapan Ewan menghangat ketika mendengar pengakuan penuh cinta dari wanita itu, karena ia tahu Lidya tidak akan pernah dengan mudah mengungkapkan perasaannya. Mengikuti nalurinya, Ewan berlutut di hadapan Lidya dan membuat wanita itu tersentak. Lidya hendak saja memundurkan langkahnya kalau saja Ewan tidak menggenggam pergelangan kakinya.

Ia terdiam.

Mereka berdua terdiam dan tubuh Lidya menggigil membayangkan apa yang hendak di lakukan pria itu. Sampai saat ini Lidya takut kalau semua ini hanyalah mimpinya yang terlalu indah, sebuah halusinasi yang terasa nyata namun ketika ia membuka mata segalanya berubah menjadi pasir. Katakanlah dia bodoh, tapi ketakutan ini selalu ada di dalam hatinya setiap hari...

Lalu apa yang ditakutkannya menjadi keterkejutan.

Ewan mengecup pergelangan kakinya, lalu kecupannya perlahan-lahan naik bersamaan dengan telapak tangannya yang mengusap lembut betisnya. Pria itu mengecup paha telanjangnya terakhir kali sebelum menegakkan punggungnya namun dengan posisi masih berlutut di hadapan Lidya. Ia mengangkat wajahnya, kali ini menarik tangan Lidya dan kembali memberikan kecupan kecil di telapak tangan wanita itu.

"Ma...Marshall..." bisik Lidya pelan tidak mengerti.

"Aku mencintaimu, menerimamu bersama dengan kelebihan dan juga kekuranganmu. Kesalahanku adalah berharap bahwa aku tidak pernah menunggumu. Kesalahanku adalah membohongi diriku sendiri dan mengatakan beratus kali bahwa kau tidak benar-benar nyata. Kau tidak benar-benar orang yang kucintai."

Ia kembali mengecup nadi di pergelangan tangan wanita itu. "Tu es mes veines. Vous êtes une petite maison et aussi une famille que j'ai toujours voulu. La douleur que j'ai éprouvée n'est rien si je sais que vous ressentez la même douleur. Je suis prêt à ressentir la même douleur tant que tu vas bien. Tant que tu m'aimes, je survivrai et réécrirai notre destin. "

(You are my veins. You are a small house and also a family I always wanted. The pain I've been experiencing is nothing if I know you also feel the same pain. I'm willing to feel the same pain as long as you're okay. As long as you love me, I will survive and re-write our destiny.)

Air mata Lidya menetes, ia memang sudah mempelajari Bahasa perancis yang merupakan Bahasa ibu dari pria yang di cintainya. Namun bukan berarti ia sangat mahir menggunakannya dan jika yang sebelumnya ia selalu mengetahui apa yang dikatakan Marshall, kali ini ia sama sekali tidak mengerti. Tapi ia tahu, bahwa apa yang baru saja di ucapkan oleh pria itu merupakan ungkapan cinta. Ia bisa melihatnya dari tatapan pria itu.

"Seras-tu ma femme et ma mère de mes enfants? Est-ce que tu m'embrasseras le matin quand je me réveillerai et m'attendrais quand je rentre du travail? Voulez-vous me pardonner et laissez-moi vous aimer comme vous le faites toujours?"

Ketika Lidya tidak menjawab, Ewan perlahan berdiri dan tangannya menangkup wajah wanita itu. Dengan ibu jari ia menghapus air mata wanita itu dan kembali berkata, "Jangan menangis, aku akan mengulangi apa yang barusan kukatakan. Kau mau mendengarnya?"

Lidya mengangguk pelan.

"Will you be my wife and mother of my children?" Suara Ewan serak dan bergetar. "Will you kiss me in the morning when I wake up and wait for me when I get home from work? Will you forgive me and let me love you as you always do?"

Dan Lidya tahu, penantian dan penderitaannya telah berakhir. Kehilangan Ewan merupakan hal tersulit yang pernah di alaminya dan kehilangan putera-nya telah menghancurkannya. Tapi kalau kali ini Ewan masih bisa mencintainya setelah apa yang dilakukannya kepada pria itu...Maka Lidya akan melakukan apa saja untuk kembali.

"I want to go back. I want us back..." Lidya berbisik pelan, tangannya mencengkram telapak tangan Ewan dan kembali berbisik, "I want us back, Marshall..."

"I want you back..." bisik Ewan.

"And I want back to you..." bisik Lidya.

Perlahan mereka mendekatkan diri mereka, membiarkan hidung mereka bersentuhan. Ewan tahu ia harus mengucapkan sesuatu namun terlalu banyak yang dirasakannya. Ia mengetahui bahwa terlalu banyak arti cinta dan menyakiti bukanlah gaya-nya. Apa yang di maksudnya mencintai adalah... menerima seluruh kekurangan pasanganmu dan mengijinkannya kembali ketika hanya itulah yang menjadikan hidupmu sempurna.

"Welcome back, Agapi Home..."

Empat hari kemudian, seluruh media memberitakan pernikahan yang akan di langsungkan oleh Ewan Marshall Wellington. Negara Inggris bernyanyi bersamaan dengan Marching Band yang di langsungkan selama dua jam. Negara lain mengucapkan pujian dan juga mendoakan kebaikan di dalam pernikahan ini.

Tidak hanya itu, Dua hari kemudian tepat di depan pagar kediaman Alford Mannor dan juga Russell terdapat satu undangan bersama dengan surat yang isinya serupa yang terdengar sangat kurang ajar.

"Place : Strasbourg Cathedral. Get your ass from bed and welcome to my sanctuary. Ops, I mean my wedding. Segera datang atau Eugene berada di pintu kalian dan menculik siapapun yang kalian miliki ke sini.

Ps. : I love you too and I don't need to your thanks, Man. "

TBC / END ? 18 Maret 2018 

Repost | 6 Juni 2020

Ps : Endingin di sini ajalah ya. Kan uda merit mereka, setuju gak guys? *smirk*

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang