Chapter 2 - Our beginning

Beginne am Anfang
                                    

Daniel bilang, ia boleh menghias kamar ini sesuai dengan keinginannya. Namun Margo tidak diizinkan untuk mengambil job dari luar karena Daniel tidak ingin Margo kelelahan.

Well, hati Margo menghangat setiap kali mengingat perkataan Daniel. Meski lelaki itu tidak memiliki perasaan lebih padanya, tapi setidaknya Daniel menginginkan anak mereka.

Ah, Margo dulu bekerja sebagai desainer interior, di mana ia sering mendekorasi kamar, tempat, atau bahkan kafe dan restoran. Hanya saja ia memang tidak terikat oleh kontrak dan waktu, jadi dia bisa ke mana-mana tanpa harus khawatir dimarahi oleh atasannya, seperti Lynne dulu.

Margo menarik napasnya pelan, kemudian melirik ke arah laci yang terletak di samping ranjang. Ia menunduk sedikit, mengeluarkan sebuah kertas dari laci yang paling bawah. Kertas yang sudah agak lecek karena kemarahan dan air matanya sendiri waktu itu.

Dalam hening, kutitip rindu yang tak lupa menyebut namamu.

Dalam sunyi, kuucap kagum meski diri ini masih ingin sembunyi.

Dan dalam cinta, kudoakan namamu agar selalu bahagia, hingga sabit melengkung di mata.

Tersenyumlah ... karena di sini, ada aku yang akan selalu mengagumimu.

Your secret admirer

Cal.

Margo masih tersenyum ketika membaca surat sederhana yang ia terima jauh sebelum ia putus dengan Kenndrick. Ia tidak tahu siapa itu Cal, karena rasanya Margo belum pernah memiliki klient bernama depan Cal sebelumnya.

Tapi siapa pun dia, Margo sangat berterima kasih. Karena ketika ia hancur, surat itu sangat membantu Margo. Setiap kata yang diketik di sana membuat Margo merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar membutuhkannya di dunia ini.

Dan karena surat itu pula, ia bisa bertahan dari rasa sakit. Margo sadar betul, kalau dia berhutang budi dengan si pengirim. Karena itu Margo berharap bisa bertemu dengan seseorang yang mengiriminya surat ini, suatu hari nanti.

Gadis berambut blonde itu kembali meletakkan suratnya ke tempat asal. Kemudian, ia memandangi langit yang tampak cerah hari ini.

Pikirannya melayang ke masa depan, di mana dirinya nanti akan bahagia dengan anaknya, dan Daniel. Iya, Daniel.

Margo berharap suatu hari nanti semua perhatian dan rasa cinta yang ia curahkan akan terbalas. Dan mereka berdua bisa hidup bahagia untuk selama-lamanya.

Layaknya kapal yang telah lama berlayar dan pada akhirnya menemukan tempat untuk berlabuh. Seperti itulah Margo berharap kisah cinta mereka akan berakhir.

Sayangnya, Margo tidak tahu, kalau di tengah perjalanan, sang kapal bisa saja memutar haluannya menuju ... pelabuhan lain.

***

"Pakai ini."

Margo bengong ketika Daniel menyodorkannya sebuah gaun simpel berwarna hitam selutut yang tampak cantik, meski sangat polos.

"Untuk apa?" balas Margo bingung

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

"Untuk apa?" balas Margo bingung. Daniel baru saja pulang, entahlah sepertinya dia punya tempat untuk berganti baju dan mandi di kantor.

Karena lelaki itu terlalu rapi untuk ukuran orang yang tidak kembali semalaman. Dan ya, bajunya juga berubah. Sepertinya dugaan Margo kali ini benar.

Margo tidak pernah mengunjungi kantor Daniel, karena dia sadar kalau dirinya bukan siapa-siapa. Hubungan mereka itu seperti ada, tapi tidak ada. Margo tahu dia tidak bisa mengklaim Daniel sebagai miliknya, di saat status mereka berdua hanya sekadar kesalahan.

Daniel juga sepertinya tidak ambil pusing mengenai masalah itu, dan ia juga tidak berniat untuk mengenalkan Margo pada keluarganya. Well, mungkin dia malu karena berakhir dengan gadis super biasa saja seperti Margo?

Entahlah, Margo tidak tahu. Tapi pikiran itu membuat hatinya terasa tercubit.

Membayangkan kalau Daniel memang tidak mau mengenalkan dirinya pada keluarga Wallance karena malu, membuat gadis bermata hazel itu terpaksa menahan rasa sakit hati akibat pikirannya sendiri.

Margo tersenyum miris karena kesimpulan yang ia tarik. Astaga, tidak seharusnya dia berharap berlebihan di saat Daniel sudah mau mengemban tanggung jawab atas anaknya ini.

Dibandingkan mengeluh dan terus bersedih, seharusnya Margo bersyukur. Daniel si play boy yang kaya raya mau bertanggung jawab atas dirinya yang biasa saja ini, tanpa pernah meminta Margo untuk melakukan hal bodoh seperti membuang bayinya sendiri.

"Kafe William grand opening  siang ini." Daniel tersenyum menatap gaun yang ia berikan pada Margo. "Aku membelinya di salah satu butik ketika tak sengaja lewat tadi. Gaun ini tampak simpel, tapi ... indah. Sama seperti dirimu."

Seketika, Margo merasa jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat. Katakanlah dia berlebihan, tapi dia sendiri bingung. Sejak tinggal dengan Daniel, Margo merasa dirinya kembali ke masa-masa remaja, di mana ia masih sering dilanda cinta monyet.

Dengan senyuman yang tertahan, Margo berusaha mengontrol ekspresinya agar tak terlihat terlalu senang, meski hatinya sudah bersorak-sorai, penuh kemenangan.

Margo tidak mengerti kenapa ia bisa sesenang ini hanya karena Daniel Wallance memujinya. Oh Tuhan ... sepertinya rasa cinta ini benar-benar ada dan nyata.

"Kalau begitu, aku siap-siap dulu." Margo tersenyum malu dan berlarian kecil memasuki kamar.

Tangan telatennya mengeluarkan alat-alat make up yang dibutuhkan. Tapi sepertinya tak perlu berlebihan, karena hanya grand opening sebuah kafe milik William—teman Daniel— bukan perusahaan ternama.

Ya, Margo tahu nama teman-teman Daniel, karena lelaki itu pernah membicarakan mereka beberapa kali. Tapi untuk bertemu, Margo belum pernah. Karena itu dia ingin tampil cantik, agar Daniel merasa bangga karena memilikinya.

Dan di dalam hati ia berjanji, ia akan berusaha untuk membuat Daniel jatuh cinta padanya. Meski sebenarnya tekat ini terasa mustahil. Tapi Margo akan mencobanya, demi cinta, bayi, dan ... dirinya sendiri.

***

Hope u like it!

••••
Also, find me on Instagram : blcklipzz (double Z)
••••

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt