12.

67 13 50
                                    

•••

"Terimakasih Pak,"

Setelah mengucapkan terimakasih kepada sopir rumahnya, Valentine segera melangkahkan kakinya menuju area kampus.
Dengan langkahnya yang pelan, membuatnya terlihat seperti tak bernyawa tapi berada.

Beberapa temannya menyapa dengan biasa, dan sebisa mungkin ia pun membalasnya dengan hal yang sama.
Ia tahu, yang memiliki masalah itu bukanlah hanya dirinya. Dan ia sadar, ia harus bisa melewati semua masalahnya tanpa harus mengeluh pada siapapun.

"Cal, aku harus segera masuk. Tidak apa-apa aku tinggal?"

"It's okay, Hun,"

Setelah mendapatkan sebuah kecupan di dahinya, Livia berlari meninggalkan Calum.
Rupanya mereka baru saja sampai, dengan Calum yang menjemput Livia seperti biasa.

"Bye,"

"Bye,"

Lagi,
Matanya memanas, seperti ingin meledakkan sesuatu dari sana ketika pemandangan yang selalu ingin ia hindari ternyata selalu ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Sebelum Calum menyadari kehadirannya, Valentine segera berlari mendekati salah satu pintu kelas yang terbuka, kemudian segera memasukinya.

"Astaga Val, bisakah lebih hati-hati?"

"Umm, sorry-sorry,"

Terlambat,
Calum mengalihkan matanya dari Livia ketika ia mendengar sebuah suara yang menyerukan nama gadisnya yang lain.
Awalnya ia bingung dengan apa yang sedang terjadi, namun seketika senyuman terbit di wajahnya ketika ia paham bahwa gadisnya itu sedang mencoba bersembunyi darinya.

"Stupid girl,"

Dengan langkah pasti Calum melangkahkan kakinya, ia harus menghampiri gadis itu. Dan menanyakan tentang kenapa gadis itu harus bersembunyi darinya.

Sedangkan disisi lain, Valentine tampak berharap-harap cemas. Berharap pria yang sedang di hindarinya itu benar-benar tidak akan menemukannya, dan ia akan bebas dengan aman tanpa harus berdebat dengannya di pagi ini.

Punggungnya menyandar pada dinding kelas di balik pintu, dengan kedua tangannya yang ia satukan seperti sedang berdo'a, dan matanya yang semakin terlihat cemas.

BRUKK

Valentine memejamkan matanya erat-erat, tanganya bergetar hebat, dan kakinya seolah terasa lemas ketika ia meyakini bahwa usahanya dalam bersembunyi dari pria bernama Calum itu gagal.

"Bodoh,"

MATI,
Tamat sudah riwayat Valentine,
Sekarang ia semakin yakin. Pria yang menutup pintu dengan kasar itu adalah Calum, pria yang masih menjadi isi dalam hatinya.

"Open your eyes,"

Valentine semakin merinding ketika ia merasakan hembusan nafas di telinganya, bahkan sekarang ia sudah bisa menghirup aroma tubuh pria itu dengan jelas.

Dan, saat matanya terbuka.
Air mata langsung saja terjun dari pelupuk matanya.

"Calum,"

"Yes, I found you,"

"Y--"

"Always found you,"

Valentine membuka matanya secara perlahan, mengalihkan perhatiannya pada seisi kelas, dan ia bersyukur sekarang. Untung saja kelas ini masih kosong, dan itu membuat rasa cemasnya sedikit berkurang.
Setelah itu, matanya kembali pada pria itu.
Pada pria yang sampai detik ini masih menjadi penguasa penuh isi hatinya.

"Calum, tolong berhenti mengikutiku,"

Matanya memberanikan diri untuk menatap mata Calum, sebisa mungkin ia menahan rasa ingin mengecupnya, karena jika itu ia lakukan, ia tidak akan pernah bisa meninggalkan pria itu.

"Aku yakin, cerita kita memang cukup sampai disini,"

Dengan berat hati ia harus mengatakannya,
Mengatakan sesuatu yang sama sekali bukan keinginannya,
Sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan isi hatinya.

"Livia mencintaimu lebih dari pada aku, dia lebih baik untukmu,"

KALAH,
Valentine kalah,
Satu tetes air mata pada akhirnya jatuh membasahi pipinya.

"Dia tidak pantas di sakiti,"

Dua tetes.

"Dan kita,"

"Val, stop!"

"Tidak pantas melakukan ini,"

"VALENTINE,"

PLAKK

"CUKUP!"

Amarah Calum pecah,
Semua kacau,
Valentine semakin menangis,
Pipinya terasa perih, bahkan hatinya justru lebih perih.
Luka dan air mata seperti ikut menyirami luka itu, yang semakin lama semakin terasa menyesakkan.

Valentine memegangi pipinya yang baru saja di tampar oleh Calum, oleh pria yang selalu ia cintai dengan sepenuh hati.
Entah apa yang ia rasakan saat ini, tetapi yang pasti. Marah, kecewa, tidak percaya, dan sakit itu berbaur menjadi satu.

Sedangkan disisi lain, pria yang baru saja melayangkan sebuah tamparan keras itu tampak menatap telapak tangan dan gadis itu tidak percaya.
Ia seperti bertanya pada dirinya sendiri, apa yang baru saja aku lakukan? Aku menamparnya? Aku menyakiti gadisku? Aku membutnya menangis? Astaga, bodoh!

"Valentine,"

Calum mengangkat tangannya, mencoba meraih tangan Valentine yang masih memegangi pipinya dengan air mata yang terus mengucur di kedua matanya.

"I'm sorry,"

Tidak ada jawaban,

"I'm so sorry,"

Masih tidak ada jawaban,

"Itu, di luar kendaliku,"

Cekleks

"Calum, sedang ap---"

"Valen-tine?"

•••

Huaaaaaa, ay em sori. Ini late late late banget, dan Idk aku rasa ini semakin kacau. Di kepala aku cuma ada itu, maapkeun. Alayy!

Next part keknya Livia tau,
Next part keknya Valentine bakal pergi,
Next part keknya Calum bakal mati,
Dan next partnya lagi keknya Mekel bakal jadian ma aku deh. 😂😂😂

Wkwkwkw, jan lupa voments dah.
Eh ya, bacanya sambil baca Ghost of you deh coba, sap tau baper. 😂😂😂

Pendek? Bomat ah, BYE!!!

Trouble • 5SOSWhere stories live. Discover now