5.

58 18 6
                                    

•••

Aku lelah,
Terlalu banyak air mata yang ku keluarkan malam ini, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Kecuali Ibu,

"Butuh pundak Ibu?"

Aku menoleh, seperti biasa, Ibu berdiri di sana, di ambang pintu, menawarkan sesuatu yang benar-benar sedang aku butuhkan.

Aku mengangguk, dan tanpa aku minta, Ibu berjalan mendekat, duduk tepat di sisi tempat tidurku.
Segera aku memeluk Ibu, menumpahkan segalanya yang sedang ku rasakan.

"Tuhan bukan tanpa alasan memberikan sesuatu hal, jika tidak ada jawaban di baliknya,"

Suara Ibu,
Ah terimakasih Tuhan, sudah menciptakan seorang Ibu yang benar-benar mengerti aku, ia adalah malaikat tanpa sayapku.

"Ibu tidak akan menyalahkan kamu, tidak Calum, tidak juga keadaan. Percayalah, kalian akan bahagia pada waktunya,"

Aku semakin menjadi, menangis sesenggukan dalam pelukan Ibu.
Aku tidak tahu pasti apa alasan dari semuanya, tentang perasaan, tentang cinta, tentang pengorbanan, tentang persahabatan. Tetapi yang pasti, saat ini aku hanya butuh ketenangan untuk menetralkan hati dan diriku sendiri.

"Aku benci memiliki perasaan ini Bu,"

Aku bersuara, masih dengan tangisku.
Dan dapat ku rasakan, Ibu mengangkat tangannya, mengusap lembut belakang kepalaku sampai ke punggungku, dan ini sungguh sangat nyaman.

"Itu bukan keinginan, tapi itu sebuah perasaan yang memang tidak pernah kita tahu kapan dia akan datang,"

Aku mengangguk, semakin menjadi menangis dalam pelukan Ibu.
Saat-saat seperti inilah yang aku benci dari diriku, saat-saat aku melemah, tidak sanggup menguatkan diri sendiri, dan tidak sanggup memilih jalan mana yang akan ku pilih untuk hidupku.

"Sudahlah, sekarang berhenti menangis. Kau butuh sedikit waktu sendiri sepertinya, pikirkan semuanya baik-baik, pilih jalan terbaik untukmu, Ibu selalu mendukung apapun yang menjadi keputusanmu sayang,"

Ibu melepaskan pelukanku, mengusap air mata yang masih membasahi pipiku.
Untuk saat ini, setidaknya aku merasa lebih tenang. Dan itu adalah karena Ibu, karena malaikat tanpa sayapku.

Aku mengangguk.
Aku memang butuh waktu untuk menyendiri saat ini, memikirkan bagaimana nasih perasaanku, nasib persahabatanku, nasib cinta dan rasa sayangku.
Astaga, aku rasa aku bisa gila jika terus seperti ini.

"Baik Bu, Valentine akan memikirkan ini lebih matang lagi,"

Aku menjawab.
Meski suaraku terdengar memilukan, tapi kupaksakan tetap menebar senyuman.
Aku tidak ingin terlihat lemah, terutama di hadapan Ibu.
Sudah terlalu banyak beban yang ku bagi dengan Ibu, dan sekarang aku tak ingin lagi membebaninya.

"Ibu di bawah, jika perlu sesuatu, panggil saja yah,"

Aku mengangguk.
Dan setelah itu, Ibu mengusap pucuk kepalaku. Berjalan menuju pintu, dan keluar dari dalam kamarku.
Meninggalkanku, sendiri, bersama semuanya tentang keadaan kacauku.

Lagi,
Air mataku menetes, ketika mataku menangkap salah satu foto yang terpajang di dinding kamarku.
Fotoku bersama Livia tentunya, dimana kami sedang berselfie ria.

Aku rindu, bisa tertawa seperti itu, tanpa ada rasa bersalah atupun sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku rindu, bisa tertawa seperti itu, tanpa ada rasa bersalah atupun sakit.

Aku rindu, rindu tanpa adanya rasa ini untuk dia yang bisa kapan saja menghancurkannya.

•••


Holla gengs,
Selamat membaca, ini entah apa. Tapi setidaknya update. 😁

Jangan lupa,
Let's be friends, give suggestions, vote, and also comments.
Thank you. 💙

Trouble • 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang