Dua

7.5K 210 5
                                    

"Jadi, kamu kesulitan dalam pelajaran apa?" Guru itu mengulang kembali kata-katanya, masih menatap siswa laki-laki yang sedang duduk dihadapannya itu.

Tatapan laki-laki itu masih ke bawah, tepatnya ke arah sepatu miliknya. Sesekali ia menggerakan sepatu hitam-putih itu.

"Reihan?"

"Maaf bu. Sepertinya tidak usah, saya akan berusaha keras sendiri," Ia membenarkan posisi duduk di kursi guru, wajahnya mendongak.

"Ibu tahu. Hanya 2 minggu saja, kok. Dan juga, akan lebih mudah untuk mengetahui kemampuanmu sudah sampai mana."

"Terimakasih bu, tetapi tanpa bantuan dari dia, saya juga mampu," Laki-laki itu menoleh ke sampingnya, gadis yang juga duduk di kursi.

Gadis itu melirik sekilas si laki-laki yang menurut pandangannya itu sok-sokan.
Siapa juga yang ingin mengajarinya.

Suasana di ruang guru itu sedikit memanas, sudah sejak tadi Reihan bersikeras untuk tidak mau diajari oleh Rania, bahkan sebenarnya tidak ingin oleh siapapun.

"Kamu belum tahu Rania? Dia itu anak pindahan juga, tetapi prestasinya tidak diragukan lagi. Seluruh nilainya A. Jadi, jangan menolak untuk diajarkan olehnya."

"Tapi, bukannya saya meno–"

"Tidak ada tapi-tapian lagi. Kamu harus mau, karena ini perintah dari sekolah, bukan hanya semata-mata dari ibu," Guru itu memotong kalimat Reihan, keras kepala sekali anak itu sejak tadi.

Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sekeras apapun dirinya menolak sejak tadi, pada akhirnya, dirinya harus menerima kenyataan telak.
Mau tidak mau ia harus menuruti perintah itu.

"Kamu mau, kan?" Bu Mila sekarang tersenyum ke arah gadis bermata hazel itu.

Rania menilik wajah anak baru yang terlihat acuh itu.
"Sebenarnya saya juga tidak mau, bu."

"Apa?" Jawaban dari siswinya itu membuat guru yang mengenakan kebaya biru itu terkejut, tidak disangka-sangka.

"Bukan hanya saya saja yang mampu, ada Raka dan Inggrid, kan? Mereka juga sama pintarnya, mungkin melebihi saya, bu."

Guru itu menggeleng, "Kamu yang terbaik, Rania. Bahkan pihak sekolah yang mempercayai kamu, bukan hanya ibu."

"Memangnya apa alasan kamu menolak hal ini, Rania?" Tambahnya lagi.

"Sepertinya anak ini tidak ingin, bu."
Rania menatap sinis Reihan.

"Reihan sudah mau kok. Iya, kan Reihan?"

Laki-laki itu tampak sedikit kaget, ia dengan sangat terpaksa akhirnya mengangguk. Sangat pelan.

Bu Mila tertawa renyah, akhirnya usahanya sejak kemarin tidak sia-sia. Kedua muridnya akhirnya setuju dengan ide itu, meskipun entah ikhlas atau tidak.
"Baiklah, ibu ada saran. Kalian bisa belajar hari Sabtu dan Minggu, agar tidak menggangu waktu kalian."

Setelah dikusi panjang lebar lebih dari setengah jam itu, mereka pamit, kembali ke kelas.

Saat menuju kelas, tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Hanya hening.

Entah bagaimana kelanjutannya.
Karena katanya, kedua insan yang memiliki sikap bertolak belakang akan lebih mudah bersatu, dibandingkan memiliki kedua sifat yang sama.



                                                                     ❄❄❄


"Ayah?" Perempuan itu memasuki rumahnya yang luas.
Matanya lihai melihat setiap sudut rumah.

Ia menaruh tasnya di atas meja ruang tamu.

Karena belum menemukan apa yang ia cari, akhirnya ia berjalan menuju dapur.

Kepalanya mengintip di tembok dapur.

"Ayah lagi apa? Kenapa enggak nyuruh Bi Nana aja?"
Gadis itu sedikit terkejut mendapati ayahnya yang sedang sibuk memasak di dapur.

Sang ayah akhirnya menoleh ke belakang, "Kamu sudah pulang? Ayo makan."

Gadis itu berjalan mendekati ayahnya, menarik laci meja dapur, mengambil celemek berwarna hijau. Mengenakannya.

"Ayah duduk saja."
Ia dengan cekatan memotong-motong lemon, memasukannya ke dalam teko kaca yang berisi air. Juga meletakkan makanan yang sudah ayahnya masak tadi ke atas piring.

Gadis itu melepas celemeknya, ikut duduk di kursi makan.

"Gimana sekolah kamu, Rania?" Ayahnya tersenyum, menatap putri semata wayangnya itu.

"Normal," Jawab gadis itu, tangannya sibuk menaruh nasi di atas piring miliknya dan sang ayah.

"Besok malam jadwal ayah ke Rumah Sakit," Ia menggani topik pembicaraan, tidak terlalu menyukai jika membahas sekolah.

Ayahnya tertawa, "Kamu bahkan lebih ingat daripada pasien ini."

Rania tidak terlalu memperhatikan mimik wajah pria separuh baya itu.

"Ayah jangan sampai lupa." 

Ayahnya hanya mengancungkan jempol.

"Kamu di sini betah? Atau ingin pindah lagi?" Pria itu menatap lamat-lamat sang putri. Sudah 3 kali, dirinya dan anaknya pindah rumah, baik di Indonesia, maupun negara kelahirannya-Italia. 

'Hanya ingin hidup dengan damai', Itulah keinginan sederhana dari mereka. Antara ayah dan anak.

Tangan gadis itu terhenti, ia termenung melihat sang ayah yang sekarang usianya tidak terbilang muda lagi.

Ia tersenyum tipis.

"Jika ayah bahagia di sini, aku juga bahagia." 








Lost SoulsWhere stories live. Discover now