9.C (Merah Jambu)

4.4K 271 37
                                    

Ketiga siswa ini berakhir di ruang BP. Berhadapan dengan Pak Rusdi sang guru BP. Di tempat ini berbagai perasaan muncul. Riki dan Debo khawatir akan hukuman yang akan dijatuhkan. Sedangkan Alyssa dilain sisi merasa lega telah selesai momennya dengan Riki sementara disisi lain dia harus bersiap menerima hukuman lain. Cukup berat baginya menerima kenyataan dirinya terseret dalam masalah.

“Selalu Riki. Kali ini membawa wakil ketua osis dan siswa baru pindahan dari pesantren. Kali ini ada cerita apa, Riki?” pak Rusdi menyilangkan lengannya di dada.

Ketiganya terdiam. Pak Rusdi keluar ruangan.

“Heh! Jangan sampek lu bilang kalo gue ama dia berantem, paham?! Bilang aja nggak sengaja kesenggol.” Riki menatap Alyssa serius. Point pelanggarannya sudah banyak, dia takut akan skorsing dan drop out.

Alyssa kembali gusar. Seseorang menyuruhnya berbohong. Alyssa beralih menatap Debo, Debo mengangguk samar. Alyssa paham itu, Debo juga setuju dengan pendapat Riki? Alyssa merenung dengan keras.

Pak Rusdi kembali ke ruangan. Ia tatap satu per satu anak didiknya, ada rasa menyesal dan ada rasa kesal. Ada saja setiap harinya pelanggaran-pelangaran yang dilakukan oleh siswanya. Guru perawakan tinggi kulit coklat ini juga pernah muda merasakan seragam putih abu-abu yang memiliki banyak pesona, keburukan dan berkah, namun kali ini dia tidak tahu ada cerita apa di balik kombinasi karakter yang ia temukan kali ini.

“Sekarang kita konseling satu per satu, siapa duluan?” tanya Pak Rusdi sambil mencari bolpen di laci meja.

Riki memandang Debo. tatapan itu seolah mengatakan, “Lo duluan!” Debo yang enggan berdebat mengiyakan maksud Riki. Alyssa dan Riki diperintah keluar ruangan.

Alyssa menghempas nafas berat. Dia akan menghadapi hukuman yang entah apa. Dialah terdakwah yang menunggu hukuman. Dia jadi teringat pesantren. Di tempat yang damai itu tidak akan pernah ada kejadian semacam yang dia alami saat ini. Masalah paling santer yang terjadi pesantrennya hanyalah perilah tidak memakai atribut, tidak menuntaskan hafalan Al-Quran dan jenis pelanggaran kecil lainnya.

Riki mendekati Alyssa. Alyssa mundur dua langkah.

“Nggak usah lebay. Gue nggak bakal ngapai-ngapain lo di depan ruang BP kali,” cetus Riki. Dia menjaga jarak tidak lagi bergerak, sekitar satu meter jarak mereka.

Mata Riki focus pada satu objek. “Lo kenapa tiap ngeliat gue harus nangis kayak gitu?” dia mulai menyidang.

Alyssa masih diam.

“Jawab kek!” pekik Riki.

“Tidak suka caramu memperlakukan perempuan!”

“Memperlakukan? Gue nggak pernah ngapai-ngapain lo,” kata Riki kebingungan. Baginya tidak ada yang salah dari caranya bertindak. Menyentuh tangan? Ada yang salah dengan itu? Semua orang berpegangan tangan, guru dan murid saling bersentuhan. Apakah itu membuat Alyssa meneteskan airmata sampai sesegukan? Tidak masuk akal bagi seorang Riki.

Riki tidak pernah memukul perempuan. Dia hanya menggertak tidak akan pernah dia memukul perempuan. tidak level menjatuhkan image-nya saja jika harus beradu fisik dengan perempuan.

“Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi…,” kalimat Alyssa terhenti.

“Nah! Itu maksud lo apa ngomong kayak gitu? Kepala gue harus di tusuk pake paku? Sadis juga cara pikir lo.” Riki memotong ucapan Alyssa. Dia ingat, itu adalah kalimat yang diucapkan Alyssa di Lab. Computer.

“Itu hadis tentang larangan seorang laki-laki menyentuh perempuan yang bukan mahromnya.”

“Ya terus bikin lo nangis sampek sesegukan gitu? Ayolah! Lebay tau nggak sih lo.”

CAHAYA DARI ALYSSA [Sudah Terbit] Where stories live. Discover now