BAB 1.A (Bismillah, Dunia Baru)

12K 518 13
                                    


Semburat jingga menguasai ufuk timur bumi pertiwi. Kilau itu perlahan demi perlahan semakin terang menembus titik-titik awan, menyapa daun-daun yang menggigil oleh embun dini yang dingin, Memberi sedikit harapan hidup dengan hangat yang perlahan membalut mahkluk bumi.

Suasana kampung halaman yang sejuk dan penuh kehangatan keluarga-selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi sanak keluarga yang jauh dari tanah kelahiran. jauh dari orang-orang penuh jasa di masa lalu hingga dia sebesar ini.

Alyssa. Gadis enam belas tahun ini sedang merenung di atas kasur yang telah lama dia tinggalkan. Kasur yang hanya dia pakai ketika libur hari raya. Sesuatu yang agak asing, walau pun rutin setiap tahun dia kunjungi tempat ini, tetap saja kalah nyaman dengan tempat yang menjadi kesehariannya. Pesantren.

Penjemputan paksa atas dirinya dari Pondok Pesantren yang memberi segudang ilmu agama, membuat kesal bukan kepalang. Dia sudah merasa nyaman di sana. Enam belas tahun tinggal di lingkungan pesantren membuatnya enggan beranjak dan selalu ingin berada di lingkungan hangat dan religious itu. walaupun tidak dipungkiri ada rasa rindu yang mendalam pada Ummi dan Kakaknya. Tapi, selalu terkalahkan dengan ilmu-ilmu yang ditawarkan di pesantren. Ilmu agama, ilmu ilmiah bahkan ilmu hukum. Alyssa adalah orang yang haus akan ilmu-ilmu itu.

"Masih ingin mengkaji kitab! Masih ingin belajar bareng kalian," lirih Alyssa dengan linangan air mata, tangannya memegangi bingkai foto yang menggambarkan banyak gadis berkerudung merapat pada satu wanita berseragam pegawai negeri, kenang-kenangan ketika di pesantren. Dielusnya foto itu penuh sayang.

Seorang wanita memasuki kamar ia Ibunda Alyssa. Raut wajahnya terlihat suram mendapati wajah putri bungsunya meredup memendam tangis.

"Masih ingat teman di Pesantren?" tanya Ummi Alyssa, Ummi menempatkan dirinya duduk di samping Alyssa. Ia elus lembut pucuk kepala anaknya yang tertutup kerudung panjang menjuntai sampai pinggang.

"Iya, Mi." Alyssa memandang Umminya sendu. Ia berusaha keras menghentikan laju airmata yang turun begitu derasnya.

"Ikhlaskan ya, sayang? Nanti Alyssa bakal dapat teman baru yang nggak kalah baik dari teman-teman pesantren, kok."

"Bukan hanya itu, Ummi. Alyssa masih ingin mengkaji kitab, masih banyak yang belum Alyssa pahami tentang Islam. Mengapa harus diputus kegiatan positif Alyssa, Mi?" serang Alyssa, sungguh sampai sekarang dia belum bisa menerima keputusan ini.

Alyssa mengungkapkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya karena dia tahu umminya pasti menanggapi dengan kepala dingin. Walau sedikit tersentak dengan ucapan Alyssa tadi tapi, Ummi mampu mengontrol semua. Ia tahu betul cara menenangkan anak-anaknya.

"Alyssa. Bukan maksud Ummi memutus kegiatan beragamu, nak. Sungguh, di luar Pesantren juga bisakan mengkaji kitab? Bisa juga berbuat positif di luar Pesantren, bukan? Sangat bisa! Bukankah Alyssa dulu pernah bilang ingin hidup di luar Pesantren?"

"Itu dulu saat Alyssa masih suka bermain dari pada belajar. Sekarang Alyssa mau tinggal di Pesantren, Lyssa nggak mau di pindah, Mi! Alyssa masih ingin mendekatkan diri pada Allah!" Alyssa masih merajuk, setiap kata dari seseorang yang membelanya untuk pindah sekolah selalu salah.

"Alyssa, di luar sana juga bisa mendekatkan diri pada Allah, Lyssa tau Ustad Felix Siauw? Beliau siapa? Mualaf yang dapat hidayah dari Allah, sekarang jadi pendakwah! Kegiatannya selalu positif, bukan? Allah kan Mahatahu sayang, yang penting hati dan niatnya benar, insyaallah berkah sayang. Ummi yakin di sini Lyssa masih bisa disayang Allah, nak," ucap Ummi.

Jelas tidak benar hanya di Pesantren saja yang bisa meraih Ridho Allah dan mendekatkan diri pada-Nya. Di luar sana pun bisa. Asal ada niat dan kemauan yang kuat.

Alyssa mencerna kata-kata Ummi.
"Maafkan ketidaktahuan Alyssa, Mi. Lyssa hanya ingin belajar di Pesantren," jawab Alyssa hatinya mulai positif pada dunia luar.

"Dengan ilmu yang Alyssa dapat dari Pesantren, bisa Lyssa sampaikan pada teman-teman. Itukan lebih bermanfaat, nak? Sekalian amar ma'ruf nahi mungkar."

Alyssa menunduk. Dia cerna betul kalimat terakhir umminya. Benar sekali, Ibadah tidak hanya bersujud dan bertahmid, kewajiban lain sebagai muslim ialah saling mengingatkan akan kebaikan. Dan menyeimbangkan antara habluminallah, dan habluminannas.
Habluminallah merupakan hubungan yang harus dibangun antara manusia dengan sang penciptanya. Hubungan manusia dengan Allah-seperti melaksanakan solat, berzikir, berdoa, puasa, membaca Al-Quran dan segala aktivitas yang menghubungkan individu secara vertikal dengan Allah SWT.

Sedangkan Habluminannas ialah hubungan baik yang harus dibangun antara manusia dengan manusia lain, seperti tolong-menolong, tidak berkata kasar, saling menyayangi, namun terkadang manusia salah memaknai Habluminannas. Mereka berbondong-bondong membuat hubungan baik antara laki-laki dan perempuan tanpa melihat dahulu aturan sebenarnya tentang hubungan antar lawan jenis. Banyak di antara mereka yang menjalin kasih sayang dengan non-muhrim berlindung pada kalimat Habluminannas. Tidak sesempit itu penjabaran tentang hubungan yang satu ini.

"Memangnya Alyssa nggak kangen sama Ummi dan Mas Bisma?" lirih Ummi sambil memandangi kedua manic mata putrinya.

Alyssa tersenyum sendu. "Kangen, Mi." alyssa memeluk Ummi lebih erat lagi. Dua rindu itu mengganggu pikirannya. Rindu pesantren dan rindu kehangatan Ummi yang kini bersamanya. Dia ingin pulang ke pesantren namun, rindu akan tempat ini juga mendera. Ada Ummi dan Mas Bisma yang juga masuk dalam orang-orang yang dia cintai.

Baru aku sadari kepekaanku terhadap dunia ini sangat kecil. Engkau yang menciptakan berbagai makhluk dan keadaan tak aku syukuri aku pandang sebelah mata bertambah sudah butir dosa ini kian menumpuk menjadi gunung dosa. Dengan apa kumengurangi dosa ini? dengan tasbih Kau ampuni yang terkecil.

💝💝💝

Seragam baru, buku pelajaran cenderung ilmiah dari pada religius islamiyah. Tempat yang sangat berbeda dengan Pesantren. Di sini semua berbaur--lelaki dan perempuan berada dalam satu gedung, tak ada tirai pemisah di antara mereka. Ini hari pertama Alyssa datang ke sekolah barunya, ia kembali gusar dengan keadaan seperti ini, hatinya tak terima berada di sini. Ia amati keliling sekolah yang terlihat adalah perempuan dengan lelaki yang ber-ikhtilat mereka tertawa gembira tanpa beban. Alyssa diantar oleh kakaknya yang biasa ia panggil Mas Bisma. Mas Bisma menangkap keraguan pada langkah Alyssa.

"Kenapa? Masih ragu?" tanya Mas Bisma. Ia berhenti melangkah lalu memandang adik kecilnya itu dengan tatapan penuh kasih.

"Mereka..., tidak seperti Pesantren," lirih Alyssa lemas, wajahnya murung dia tak bisa membayangkan bagaimana nanti dirinya saat berbaur dengan teman baru.

"Alyssa, ini sekolah umum bukan Pesantren! Jadi wajar mereka begitu karena tak ada yang memisah mereka," jawab Mas bisma.

"Islam yang memisah mereka, Mas!"

"Tapi sistem di sekolah ini bukan seperti Pesantren, Lyssa. Di sini mengagungkan kebebasan."

"Bukankah di sini ada guru agama? Kemana mereka?"

"Tentu ada, tapi mereka bisa apa? Mereka hanya seorang guru? Mereka tentu memprioritaskan sistem yang berlaku di sekolah ini. Sistem itu kuat dan mengikat! Mau tidak mau harus diikuti, bukankah boleh ber-ikhtilat saat jual beli, pengobatan, pendidikan?"

"-Positive thinking dengan ini, Alyssa. bismillah, dunia baru ada dihadapanmu," lanjut Mas Bisma, ia cukup gregetan atas pertanyaan adiknya, kepolosan Alyssa tidak cocok dengan tempat ini. Tapi apa boleh buat? Semua sudah terjadi, harapannya kini semoga Alyssa bisa bergaul dengan teman barunya.
Alyssa diam mengkaji dengan cermat kata-kata kakaknya tadi, untuk saat ini ia membenarkan ucapan kakaknya. Ia selalu kalah berdebat dengan orang dewasa, mungkin pemikirannya belum sempurna dan informasi yang masuk tak bisa mengimbangi pikiran Kakaknya.
💝
💝
💝
💝
To be continued...
Ah diriku belom bisa bikin animasi 😂 maapkan penulis amatir ini. *ngomong sama wajan*

CAHAYA DARI ALYSSA [Sudah Terbit] Where stories live. Discover now