BAB 3.B (Kompak)

5.3K 342 13
                                    


Kelas kembali riuh. Mereka menyesali keputusan Alyssa yang tidak mau memberi mereka contoken barang separuh jawaban saja. Padahal Alyssa sudah mengatakan bahwa dia akan membantu mereka tapi, tidak dengan memberikan jawaban melainkan membantu mereka memecahkan jawaban.

Dengan syarat mereka mau berusaha dan Alyssa akan membantu sesuatu yang menurut mereka susah. Simple saja kemauan Alyssa, hanya saja teman-temannya ini terbisa dengan kata instan.

“Kata siapa kita akan keliling lapangan? Tanpa jawaban Alyssa kita masih bisa duduk di kelas. Cepat tulis sebelum Bu Farida datang,” ucap Debo sembari memberikan buku tugasnya pada Zahra. Teman lain bersorak riuh seakan lega terhindar dari kenyataan pahit yang hendak menimpa mereka.

“Debo! Lo emang gokil, bro.”

“Debo emang keren, men! Ketua kelas kita ini.“

“Bro! Lo, gue, best friend.
Ucap teman-teman bersahut-sahutan memuji Debo. Karena telah menyelamatkan kulit mereka dari terik matahari dan dari dehidrasi yang akan mendera jika benar mereka tak mengerjakan PR yang diperintah Bu Farida.

Debo mengempas nafas lega. Dia melirik Alyssa yang kebetulan juga melihat ke arahnya. Mata mereka saling beradu memancarkan satu isyarat yang tidak terartikan, hanya masing-masing pemilik mata yang mengetahui arti dari tatapan tersebut. Debo tersenyum pada Alyssa, Alyssa memperdalam tatapannya apakah betul Debo tersenyum padanya? Dia buru-buru memalingkan wajah, bukan bermaksud arogan, tapi dia tidak mau berlama-lama menatap sesuatu yang bukan miliknya. Akhir-akhir ini dia rasa Debo menjadi ancaman nyata baginya.

“Temen-temen lebih cepat, ya! Sepuluh menit lagi waktu kalian habis,” seru Debo sambil berdiri di depan papan tulis. Layaknya mandor yang mengawasi para buruh bangunan dengan ketat, bahkan kedua lengannya terlipat di dada.

Beberapa teman merespon dengan mengacungkan jempol beberapa lagi berucap lirih meng-iya-kan seruan Debo. Beberapa lagi sibuk menyalin secepat mungkin.

Via terpaku di tempatnya. Dia bahkan tidak berbuat apa-apa ketika PR-nya belum rampung semua. Ada beberapa point yang belom dijawab. Ingin sekali Via beranjak merampas buku PR Debo dan menyalin secepat kilat. Namun, keinginannya terhalang oleh sesuatu yang perlahan-lahan menyusup, menyentuh sesuatu yang sensitive. Ucapan Alyssa tadi memberi tamparan keras untuk Via.

“Ada yang belum kamu selesaikan, Via?” Alyssa bertanya dengan hati-hati. Dia melirik buku catatan teman sebangkunya itu.

“Iya, nomor 7 sama 8 aku nggak bisa.” Via mengambil pulpennya lalu mencoba mengerjakan kembali.

Alyssa melihat Via bekerja. Sesekali dia mengatakan apa yang salah pada pekerjaan Via. Tanpa diminta Alyssa mulai menuntun Via untuk menyelesaikan tugasnya dengan benar dan cepat.

“Bisa geser nggak, sih? Aku nggak bisa napas nih!” rajuk Bagas. Posisinya di kelilingi oleh teman-teman yang berbondong-bondong untuk mencontek jawaban Debo.

Meja Bagas dan Debo sudah tenggelam di makan para siswa yang antusias menulis jawaban. Bayangkan saja, satu buku dikerumuti dua puluh tujuh siswa, dan Bagas berada di tepat di depan buku itu. emang enak sih bisa lihat dengan jelas tapi Bagas tidak tenang karena satu, pandangannya jadi gelap karena dikelilingi teman-teman. Dua, Bagas tidak menulis dengan cepat karena beberapa teman menjadikan punggungnya sebagai alas menulis.

“Woy! Tipx X, Tips X!” seru Bagas.

“Modal kali.”

“Pelit banget sumpah! Aku tutupin nih buku Debo. Bagi Tips X dulu!”

“Lo niat sekolah nggak sih, Gas? Tips X aja nggak punya!” cibir Reni.

Bagas menutup buku tugas fisika milik Debo. Tingkahnya ini mengundang amukan massa yang memukul Bagas dengan buku, pensil, menjambak rambut Bagas, menjewer telinga Bagas dan segala jenis hukuman fisik lainnya seperti menjambak rambut, menghujani Bagas dengan pukulan kecil.

CAHAYA DARI ALYSSA [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang