BAB 3.C (Kompak)

5.5K 365 17
                                    

📢 jangan lupa ingat scene yang kemarin ya dear ❣ Diatas. Visualisasi Bagas Via Debo tiga sahabat gesrk 😁 Riki and the gengs menyusul ya.
.
.
.
Situasi yang berbeda dari hari-hari biasa. Ketika mendengar bell berdentang dengan kerasnya melalui soundsistem yang berada di masing-masing kelas biasanya, para siswa ini langsung berhamburan keluar kelas menuju tempat ramai padat merayap bernama kantin-tidak untuk hari ini, kelas XI IPA 1 tidak mengeluarkan satu orang pun. Semuanya diam di kelas menunggu keajaiban untuk mengisi buku tugasnya.

Dari empat mata pelajaran yang ada. Dua diantaranya ada PR sedangkan dua lainnya ulangan harian. Yang membuat para siswa ini setres bukanlah ulangan pelajaran Bahasan Indonesia dan sejarah melainkan PR untuk pelajaran Fisika dan Kimia. Jika jam pertama mereka sudah berhasil bebas dari PR Fisika, maka jam ketiga mereka harus berhadapan dengan PR Kimia yang belum mereka selesaikan itu.

Satu per satu dari mereka saling melirik kemudian sama-sama cekikikan melihat tidak ada satu pun di antara mereka yang keluar kelas. Tentunya dengan alas an yang sama, belum mengerjakan PR.

"Woy! Yang udah selesai ngerjain PR Kimia siapa nih? Bagi-bagi kek!" seru Bagas berdiri di bangkunya.

Setelah mendengar ucapan Bagas itu, semua mata tertuju pada Alyssa. Alyssa yang memandang Bagas bisa merasakan betul tatapan teman-temannya. Berbagai macam tatapan terpancar dari aura mata teman-teman, tatapan sinis, tatapan penuh harap, tatapan flat, bahkan tatapan elang yang melihat kelinci juga terpancar dari mata beberapa teman sekelasnya.

Menyadari hal itu Alyssa merogoh tas-nya mencoba mengambil buku yang dimaksud teman-temannya. Belum selesai Alyssa menyeleksi isi tasnya, isi kelas tidak lagi memperhatikan Alyssa.

"Aku selesai sampai nomor sembilan," ujar Duwi. Gadis berkacamata ini menjadi pusat perhatian setiap pasang mata. Biasanya, Duwi tidak pernah mau membagikan PR-nya pada teman lain. dia akan keluar kelas ketika teman-temannya kebingungan mencari jawaban. Tapi kini dia berdiri menawarkan hasil kerjanya pada teman-teman.

"Kesambet setan mana lo? Pasti ada maunya kan, lo?" sungut Zahra. Duwi juga tidak disenangi oleh Zahra. Karena bagi Zahra, Duwi tidak lebih dari orang yang mementingkan dirinya sendiri. Dan yang jelas Duwi tidak menguntungkan untuk Zahra.

"Terserah kalian kalo nggak mau ya sudah!" ujar Duwi. Dia malas menanggapi tuduhan Zahra. Duwi memasukkan kembali bukunya.
"Kamu kalo mau nolong jangan setengah-setengah dong," kata Bagas langsung megambil buku tugas Duwi. Teman-temannya tersenyum lega dan mulai merapat ke tempat duduk Bagas, membawa buku dan pensil. Siap menyalin jawaban.

"Lo pada ngapain sih kebiasaan banget nyontek ke gue, minggir nggak?" racau Bagas sambil memukuli teman yang mendekatinya.

"Songong banget nih anak, buku juga bukan punya lo. Geseran dong, Gas! Lo mau pelit juga? Mending pindah kelas sana," kata Reni sambil mendorong pundak Bagas supaya mau berbagi tempat duduk dengannya.

"Elah bisa aja neng Reni, yaudah tapi jangan rame-rame ya, nyonteknya yang tenang. Yuk, mulai." Bagas sudah berlagak seperti bos yang memimpin anak buahnya bekerja.

Mereka sibuk berbagi jawaban. Kali ini acara menyontek mereka tidak setegang jam pertama, karena Duwi mau berbaik hati memberikan jawaban tugasnya.

"Siapa yang selesai nomor sepuluh sampai lima belas?" Duwi angkat suara.

"Ada maunya kan lo! Baru sadar kemampuan lo nggak sehebat kesombongan lo?" Zahra kembali meracau. Gadis cantik ini tidak pernah bisa menahan emosinya.

Duwi terdiam. Memang benar tujuannya adalah mendapat jawaban soal yang belum dia pecahkan jawabannya. Mau bagaimana lagi? Duwi tahu betul bahwa keampuannya tidak bisa mengalahkan Debo. Dia juga butuh bantuan dalam menyelesaikan soal. Selama ini dia bungkam dan tidak peduli karena takut kalah saing dengan Debo dan yang lain. dia takut peringkatnya turun. Dia tidak mau berbagi.

CAHAYA DARI ALYSSA [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang