18: Hate You, Love You

Start from the beginning
                                    

Gue ngangguk-ngangguk aja lalu berjalan ke luar kelas. Kayanya gue enggak akan kembali ke kelas lagi. Toh, sepuluh menit lagi pelajaran selesai. Mending gue duduk-duduk di kantin.

Begitu sampai di kantin, gue menemukan Daryll duduk persis di meja yang sama seperti dalam mimpi gue. Tapi bedanya, cowok itu sekarang sedang duduk sendiri. Hanya ditemani oleh sebuah buku bersampul pink norak dan segelas milo dingin. Enggak ada Shaien, Sharon atau Flo, "Enggak kelas lo?" tanya gue lalu duduk dihadapannya.

"Nanti." Cowok itu meregangkan lengannya, "Lo?"

"Diusir. Ketiduran." Jawab gue seadanya. Kalau melihat Daryll sekarang, duduk santai sambil mengaduk-aduk milo dingin, enggak ada tanda-tanda kalau sebentar lagi cowok ini akan bertransformasi menjadi Gretchen. Dan kalau gue pikir-pikir.... Gue enggak bisa memilih mana yang lebih menyeramkan, Daryll berubah menjadi Gretchen atau Daryll jadian sama Flo.

"Jadi sebenarnya, lo itu cemburu sama Daryll atau karena itu Daryll?"

Gue senang setiap ketemu Flo. Dia baik, seru, lucu, kalau bersama dia, gue enggak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, apa gue benar-benar menyukainya? Kalau Flo dan Daryll benar-benar jadian, yang bikin gue sedih itu karena cewek yang gue suka berpacaran dengan orang lain, atau karena lagi-lagi gue 'kalah'?

"Yo, kemarin gue habis bongkar-bongkar lemari di kostan terus nemu buku tulis Bahasa Cina waktu zaman SMA. Gue bahkan enggak tahu kenapa gue bawa-cawa buku itu ke kostan." Daryll membuka ranselnya lalu mengeluarkan buku tulis yang sudah bocel-bocel. Cowok itu membalik sampulnya lalu menunjukan sebuah halaman penuh hanzi.

 Daryll Ferdinand Yogaswara & Gevanny E. Fabrizio

IPA – III

Latihan Bahasa Cina #1

"Buset, zaman kapan, nih!" Gue mengambil buku latihannya. Gila, udah berapa tahun, ya, gue enggak belajar bahasa Cina? Dulu, gue sama Daryll, tuh, yang paling jago di kelas. Sampai dijuluki Dao Ming Si dan Hua Ze Lei sama laoshi kami, "Gue udah lupa ini bacanya apa."

Daryll mengangguk setuju, "Ingat enggak dulu laoshi pasti selalu curiga kita contek-contekan karena nilai kita selalu sama?"

Gue mengangguk. Padahal gue sama Daryll memang jago darisananya, tapi, laoshi selalu curiga kami kerja sama mentang-mentang duduknya sebelahan. Padahal, jangankan mau ngasih dia contekan. Setiap ujian Bahasa Cina, gue selalu belajar keras supaya setidaknya, gue bisa mendapatkan poin sedikittt lebih tinggi daripada dia. Tapi setiap hasil ujian keluar, nilai kami berdua selalu sama. 95, 98, atau 100.

Gue kesurupan jin apa, ya, sampai daridulu pinginnnn banget melampaui Daryll?

"Kalau dipikir-pikir, mending gue ambil jurusan Sastra Cina aja biar enggak satu fakultas lagi sama lo." Daryll memasang muka malas, "Enggak dari SMP, SMA, sekarang kuliah, ketemunya elo-elo juga."

Gue mencibir, "Kemarin bersyukur lo kenal sama gue, sekarang gue dilepeh-lepehin."

Daryll ngakak, "Bosen juga, kan, lo liat gue mulu, Yo?"

Gue mengangkat bahu, "Kalau bisa, mah, udah daridulu kali gue paketin lo ke Afrika pakai Fedex." Kalau enggak ada Daryll, ujian Bahasa Cina gue bisa jadi nomor satu di kelas, gue juga enggak akan dibanding-bandingkan dengan dia dan menyandang title nomor dua dari SMP.

Tapi kalau enggak ada Daryll, enggak akan ada yang memicu gue untuk menjadi nomor satu. Jangan-jangan, gue akan jadi cowok pemalas yang luntang-lungtung setiap hari karena enggak punya target. Bukannya dapat nilai terbaik dalam Bahasa Cina, jangan-jangan gue malah remedial terus karena enggak punya motivasi.

The Name of The Game [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now