His Temptress | 86

Start from the beginning
                                    

"Yeah, tapi masalahnya kau tidak akan pernah bisa marah kepada wanita tua sepertimu, Marshall. Now, go away dan berikan kami waktu untuk bersantai," ejek Elizabeth sambil mengibaskan tangan seolah mengusir pria itu dan mendapatkan dengusan kencang dari Ewan sebelum pria itu berjalan meninggalkan mereka berdua.

Setelah kepergian Ewan, pelan-pelan Elizabeth duduk di pinggir kolam. Ia sudah melepaskan sendalnya dan membiarkan kakinya terendam di dalam kolam. Sambil tersenyum ia menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan tatapan terarah kepada Lidya. "Sit down here, honey."

Lidya duduk disamping Elizabeth dengan canggung. Ia tidak pernah bertemu dengan Ratu Inggris sebelumnya. Mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan di lain waktu, dan pendapatnya mengenai Lizzie sangat berbeda dengan yang dipikirkan sebelumnya. Lizzie terlihat begitu lembut, tegas dan beribawa. Untuk waktu yang sangat lama, Lidya membiarkan pikirannya hanyut kepada gerakan air kolam yang ada di hadapannya.

Hingga ia mendengar Lizzie berkata dengan suara yang sangat pelan.

"He loves you. Dia sangat manis kalau sedang seperti ini. Iya kan?"

Lidya menoleh kearah Lizzie karena tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh wanita itu. Ketika tatapan mereka bertemu, Lizzie tersenyum lembut. Lizzie mengulurkan tangan kearah Lidya dan menepuk lengannya dengan gerakan keibuan. "Yang kumaksud adalah Marshall Wellington. Si bodoh itu."

Dan ketika Lidya tidak menjawab, Lizzie mengucapkannya sekali lagi. "Dia mencintaimu sejak lima tahun yang lalu dan tidak pernah berhenti sedikitpun."

Aku juga...

Namun Lidya tidak bisa mengatakannya semudah itu. Ia merasa suaranya tercekat, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Lizzie yang tengah menatapnya dengan lembut. Wanita yang hampir sebaya dengan neneknya itu tersenyum kearahnya. "Bahkan ketika kau memutuskan untuk memberikan punggungmu kepadanya, dia masih mencintaimu."

Aku tahu...

Dan lagi-lagi Lidya tidak bisa menjawabnya.

"Pria itu berubah menjadi brutal. Marshall yang kukenal pertama kali adalah sosok yang sangat dingin, kejam dan tidak segan-segan melukai orang yang berani menunjukkan taring kepadanya." Lizzie terkekeh pelan. "Bahkan pria itu tidak takut pada Charles. Pria bodoh itu bahkan tidak takut kepadaku."

"Seperti apa dia...?" Tanya Lidya sambil berbisik.

"Dia?" Lizzie menatap Lidya dan ketika wanita itu mengangguk pelan. Ia berkata, "Buruk. Hancur? Sudah pasti. Seberapa parahnya rasanya aku tidak perlu membicarakannya denganmu karena nampaknya kau yang sudah lebih mengetahuinya. Dan ruangan itu..." ketika Lidya menatapnya dengan pandangan terluka, Lizzie berkata dengan datar, "Kau tahu tentang ruangan itu bukan?"

"Aku tahu..." jawab Lidya pelan.

"Jadi kau juga tahu bahwa ruangan itu merupakan bentuk rupa dari hati yang hancur?"

Tangan Lidya bergetar, ia tidak memiliki ucapan yang tepat mengenai hal ini karena segala yang diucapkan Lizzie benar apa adanya. Kebodohannya-lah yang selama ini sudah membuat Marshall terluka. Ketika tengah bergelut dengan perasaannya sendiri, Lidya menyadari Lizzie menangkupkan wajahnya dengan tangan wanita itu dan mengelus pipinya pelan.

Sebelum ia sempat berpikir, Lizzie sudah berkata, "Anak bodoh. Kau mengerti yang kumaksud tidak?"

"Aku sudah menyakitinya, Lizzie..."

"Bodoh. Kau dan Marshall sama bodohnya." Lizzie menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Kau tidak mengerti ucapanku mengenai hati hancur ya?"

His TemptressWhere stories live. Discover now