15

848 202 31
                                    

[ SUGA ]


Ini adalah pagi ketiga di mana aku terbangun dengan harapan perceraian orang tuaku hanyalah sebuah mimpi.

Semakin hari, harapan itu semakin tipis. Seiring dengan harapan yang menipis, tekadku untuk tinggal di Daegu menjadi semakin kuat. Tapi tekadku itu sempat luluh kemarin sore, saat melihat teman-temanku yang datang dari Seoul.

Namjoon, Taehyung, dan Wendy, mereka menggunakan mobil kantor untuk datang menjemputku. Mereka bertiga datang ke restoran keluargaku, berbicara dengan Ibu dan Kak Sora, serta berkali-kali memintaku untuk ikut bersama mereka kembali ke Seoul.

Tapi aku nggak bisa. Dibandingkan kejayaan dan karir cemerlang yang kuperoleh di Seoul, aku lebih memilih untuk menetap di Daegu dan membantu kedua orang tuaku.

Aku tahu jawaban seperti itu tidak membuat teman-temanku puas. Maka semalam, aku menceritakan masalah perceraian orang tuaku pada mereka. Sangat susah untuk tidak menangis di hadapan mereka bertiga, karena aku sendiri masih belum bisa menerima keputusan orang tuaku.

Tidak satu pun dari mereka yang memberi komentar setelah aku selesai bercerita. Aku, Namjoon, dan Taehyung menggelar kasur besar di lantai dan tidur di atasnya. Sedangkan Wendy tidur di ranjang yang biasa menjadi tempatku tidur tiga tahun lalu.

Dengan setengah sadar tapi juga saksama, aku memperhatikan kamar yang aku tempati. Di sebelah kanan dan kiriku, Namjoon dan Taehyung masih tertidur pulas. Sedangkan ranjang atas yang dipakai oleh Wendy sudah kosong.

Aroma manis yang sedikit basah tercium dari luar pintu. Aku segera bangkit dan berjalan dengan lemas menuju dapur yang terdapat di seberang kamarku. Dan dalam hitungan detik kesadaranku sempurna, karena Wendy.

Perempuan yang lebih muda setahun dariku itu sedang membuat teh hangat bersama pembantu keluargaku. Tapi yang membuatku kaget adalah karena Wendy sudah tampak rapi, memakai pakaian santai berupa kaos biru tua dan celana pendek putih.

Iya, celana pendek. Jangan membuatku mengulangnya lagi.

"Selamat pagi, Suga," sapa Wendy sambil tersenyum. "Mau minum sesuatu?"

"Air saja," jawabku gelagapan. Bahkan aku tidak balas menyapa Wendy.

Gejala apa ini? Oh, iya. Salah tingkah.

Wendy segera mengambil gelas, mengisinya penuh dengan air dan menyerahkannya padaku. "Ini, duduk dulu di sana. Nggak boleh minum sambil berdiri, apalagi jalan."

Sekilas aku bisa melihat Bibi—pembantu keluargaku—tersenyum saat Wendy memberi gelas berisi air padaku dan menuntunku hingga duduk sempurna di kursi. Pasti menurut Bibi dan juga keluargaku, ini pemandangan yang langka.

Aku, sang anak bungsu keluarga Min yang hanya memikirkan pekerjaan, bisa berada sedekat ini dengan perempuan di luar keluargaku. Siap-siap saja setelah Wendy pulang, aku akan diinterogasi oleh Ibu dan Kak Sora.

"Ah, sudah sisa sedikit," ujar Wendy tiba-tiba kemudian membungkukkan badan dan meniup api yang membakar aromaterapi di atas meja.

Jadi ini sumber wangi manis yang membuatku keluar kamar? Aku bahkan tidak sadar benda berbentuk lilin ini ada di atas meja makan. Aromaterapi berwarna hijau itu kini tersisa sepertiga.

"Itu aromaterapimu?" tanyaku sewajar mungkin.

"Iya, aku bawa satu dari Seoul. Keluargaku sangat suka dengan aromaterapinya," cerita Wendy ceria. "Sudah kupakai kemarin dan hari ini selama mandi."

"Kamu sudah mandi?" tanyaku lagi, sedikit kaget.

Wendy mengangguk kecil. "Sudah, kok. Beberapa menit sebelum kamu bangun, aku sudah selesai mandi."

Before the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang