Part 17: The Game Has Only Just Begun

Start from the beginning
                                        

“But your painting is much more excellent than the one I made. Aku dengar kamu berhasil membuat pameran untuk lukisanmu. Ah, I'm so envious.” Archie mengerutkan dahinya. “How do you know?”

“Of course I know, you're famous at Bellford International School. Mereka banyak membicarakan tentangmu,” ungkap Arletta.

Archie mengangguk paham. “Saat ini kamu menjalani program pertukaran pelajar di sana, ya?” Anggukan kecil dari Arletta dibalas senyum lembut oleh Archie.

Keduanya diam dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Rasanya seperti asing, padahal dulu keduanya dekat dan kerap melukis bersama. Biasanya setelah melukis Nelie akan menilai lukisan mereka, dia akan memberikan pujian mau pun saran untuk lukisan mereka.

“How's your life in Indonesia? Is it fun?” Pertanyaan dari Archie membuat Arletta menghentikan coretan kuasnya.

“Everything goes as it should,” balas Arletta.

“Aku dengar kamu adalah murid terbaik di Atlantic International High School. Kamu banyak berubah sekarang, tapi aku senang melihat kamu mulai meraih satu persatu mimpimu. Oma must be proud of you, her only granddaughter managed to become a great and smart girl,” puji Archie.

Arletta tersenyum paksa. “Am I that great now?” Archie mengangguk mengiyakan. “You're going to be the first doctor in Charlos' family, isn't that amazing?”

“Itu belum tentu, aku bahkan masih kelas sebelas.”

“Kamu pasti bisa, Arletta.”

“Kenapa seyakin itu?” tanya Arletta penasaran.

“Karena Arletta yang aku kenal adalah orang yang selalu bersungguh-sungguh mewujudkan semua keinginannya,” balas Archie.

“But I don't want to be a doctor,” lirih Arletta. “What did you say?” Archie tidak mendengar ucapan Arletta barusan.

Arletta menggeleng pelan, kemudian dia tersenyum kecil. “It's nothing. You're right, I’ll definitely be the first doctor in the Charlos family,” kata Arletta.

“Sorry, Miss, Master, Mr. Paul has arrived. Where would you like to study, Miss?” Matilda datang membuat keduanya menoleh bersamaan.

“I'd like to study in the living room.” Arletta bangkit dari duduknya, dia menatap Archie sejenak. “I’m leaving,” pamit Arletta.

Archie tersenyum hangat. “Good luck, jangan terlalu paksakan dirimu.”

Laki-laki itu menatap tubuh ramping Arletta yang masuk ke dalam rumah. Kedua sudut bibirnya yang tadi terangkat sempurna kini kembali datar. “Arletta benar-benar sudah berubah.”

ִֶָ 𓂃˖˳·˖ ִֶָ ⋆۫ ꣑ৎ⋆  ִֶָ˖·˳˖𓂃 ִֶָ

Dering ponsel membuat konsentrasi Arletta pecah. Dia melihat nama kontak yang tertera di layar ponselnya. “Excuse me, Mr. Paul, can I take a minute to answer the phone?” pinta Arletta sopan.

“Of course, go ahead, Miss.” Arletta bangkit dari duduknya, dia pergi ke taman samping guna mengangkat telefon dari Alexandra.

“Kenapa kamu tidak bilang kalau kita sudah ketahuan!” pekik Alexandra dari seberang sana.

Arletta refleks menjauhkan ponselnya dari telinga. “Don't sweat it, they won't know much. Lakukan saja apa yang aku perintahkan, apa bukti-bukti itu sudah kamu berikan ke pengacara?”

“Arletta! Why the hell did you go so far without telling me? Kamu tahu gak kalau kepalaku rasanya mau pecah. Aku bingung harus mengurus yang mana dulu,” cerca Alexandra.

“Lakukan apa yang aku minta, Al. Semua risikonya akan aku tanggung, aku tidak akan membawamu terlalu jauh,” ujar Arletta tenang.

“Ar, kita mundur aja, ya?” Arletta menghela nafas pelan. “Kalau kamu menyerah, biar aku yang menyelesaikannya sendiri. Thank you for helping me all this time,” ujar Arletta.

“Gosh, that's not what I meant. Kamu dalam bahaya, Ar. Mereka mengincarmu,” sela Alexandra kesal.

“Alright, I have tutoring right now. After the tutoring, I'll call you back. Terserah kamu ingin berhenti atau lanjut, aku akan tetap lanjut sampai semua masalahnya selesai,” ujar Arletta menutup telefon mereka secara sepihak.

Arletta mematikan ponselnya saat Alexandra kembali menelefonnya, kemudian dia kembali dan melanjutkan belajar bersama Paul yang sudah menunggu. Setelah empat jam akhirnya sesi belajarnya selesai. Arletta memiliki waktu satu jam untuk istirahat sebelum tutor selanjutnya akan datang.

Dia menghidupkan kembali ponselnya, spam telefon dan chat dari Alexandra membuatnya terkekeh kecil. Gadis itu pasti mengamuk karena dia mematikan telefon mereka secara sepihak kemudian mematikan ponselnya. Alih-alih menjawab atau menelefon Alexandra kembali, jemari Arletta justru bergerak membuka room chat-nya dengan Michele.

Pesannya dari semalam belum dibalas oleh gadis itu. Nomor Michele juga tidak bisa dihubungi. Arletta berdecak kesal, dia benar-benar khawatir dengan kondisi Michele. Entah mengapa dia merasa Michele sedang tidak baik-baik saja saat ini.

“Apa semuanya akan baik-baik saja?”

𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼

˚ 𓇼

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Last but Not Least Where stories live. Discover now