Part 57: The Cause Behind the Move to America

136 10 0
                                        

𝓣𝓱𝓮 𝓒𝓪𝓾𝓼𝓮 𝓑𝓮𝓱𝓲𝓷𝓭 𝓽𝓱𝓮 𝓜𝓸𝓿𝓮 𝓽𝓸 𝓐𝓶𝓮𝓻𝓲𝓬𝓪

۫ ꣑ৎ Happy Reading, Love ۫ ꣑ৎ

۫ ꣑ৎ Happy Reading, Love ۫ ꣑ৎ

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Satu bulan lalu

Sebuah ruangan dengan dinding yang dihiasi panel kayu mahoni berkilauan diterpa sinar lampu gantung kristal. Rak-rak penuh buku berjajar rapi. Meja kerja besar dari kayu ek berdiri kokoh di tengah ruangan, dengan tumpukan dokumen dan alat tulis yang tertata sempurna. Sebuah jam antik berdenting lembut mengisi keheningan ruangan.

Louis berdiri dengan santai di dekat jendela besar yang menghadap taman luas. Manik birunya memancarkan ketenangan, meskipun ada kerut samar di dahinya. Dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, ia memandang William, yang duduk di kursi kulit hitam berukir, menghadapnya dengan tatapan tajam.

Tangannya menggenggam pena emas, tetapi raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang jelas. Ia berdiri dengan cepat, kursinya bergeser sedikit ke belakang, dan tanpa peringatan, tangannya terayun ke arah Louis.

Plak! Suara tamparan itu menggema di ruangan, memecah keheningan. Louis, yang tinggi menjulang, terkejut tetapi tetap berdiri tegak. Wajahnya sedikit menoleh karena kerasnya tamparan itu, tetapi tatapan birunya tetap tenang.

“Are you completely out of your mind, Louis? Setelah hampir menghancurkan perusahaan saat ini kamu telah membunuh calon putraku!” gertak William.

“I seriously can't fucking wrap my head around what's going on in that brain of yours,” imbuh William lalu mengusap wajahnya kasar.

“Do you really believe that the child that slut is carrying is yours?” Pertanyaan Louis justru semakin memancing emosi William. Tidak hanya satu pukulan, setidaknya ada empat pukulan yang membuat lebam biru mulai menghiasi paras tampan Louis.

“Watch your fucking mouth, Louis. Valencia is your mother, she's better than Aurelie.”

Rahang Louis mengeras dengan tangannya yang terkepal kuat. Ia tidak terima setiap kali ayahnya itu merendahkan ibunya dan membela Valencia. William yang melihat Louis mulai tersulut emosi hanya terkekeh sinis. “Kenapa? Can't take it?”

“A whore will always be a whore. No one can say for sure that the kid that slut is carrying is even yours. Lagi pula, aku tidak pernah membunuhnya. Dia sengaja menjatuhkan dirinya sendiri,” beber Louis.

“I’m not as thick as you, Louis. Mana mungkin Valencia menyelakai dirinya sendiri dan calon bayinya,” timpal William.

“Believe what you want, Daddy. You've never trusted me anyway,” balas Louis enteng.

“Sekarang kamu harus bertanggung jawab, kamu harus minta maaf ke Valencia,” titah William.

“Why should I apologize to that slut?” Sebuah tamparan kembali melayang di wajah Louis hingga membuat ia meringis kecil karena sudut bibirnya yang robek.

Last but Not Least Where stories live. Discover now