Episode: Circle (3)

1.4K 148 3
                                    

Aku paling anti poligami. Lebih baik aku diceraikan dibanding menjadi salah satu istri dari seorang yang melakukan poligami.

Bukannya kenapa. Aku tidak ikhlas. Lebih baik aku berpisah dibanding aku menyimpan kemarahan kepada perempuan yang mengambil imamku. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa karena mendengar ajaran sewaktu kecil kalau perempuan yang meminta cerai itu tidak bisa mencium bau surga.

Aku hanya bisa menatap Mas Danu dengan bingung ketika akhirnya dia kembali melanjutkan penjelasannya dengan tatapan pengawasan dari Ibu

"Mas sudah menikah dengan seseorang tapi kemarin dibawah tangan..."

Jadi begitu. Aku menghela nafas mencoba tidak marah kepada suamiku ini. Rasanya sakit sekali, juga sesak disaat bersamaan. Mau menangis dan mencakar Mas Danu juga Ibu yang selalu menuntut cucu.

Mas Danu melirik kepada ibunya, lalu memandangku lagi. "Dua minggu yang lalu, dia dinyatakan positif. Jadi Mas mau menikah secara resmi..."

"Bagaimanapun itu cucu ibu, Ibu mau semuanya berjalan sah secara hukum dan agama..." Ibu menambahkan dengan cepat

Bapak memandang tanpa ekspresi. Ketika aku menoleh kepada Mbak Dewi dan juga suaminya, mereka berdua memandangku dengan khawatir.

"Hm..." Aku menatap Mas Danu dengan ragu, "Sudah berapa bulan kandungannya?" Sebenarnya aku ingin menanyakan sudah berapa lama Mas Danu mengenal perempuan itu dan menyembunyikan pernikahan dibawah tangannya. Tapi aku tidak bisa apa-apa selain mencoba tetap kuat dengan bantuan genggaman tangan Mbak Dewi kepadaku

"Masuk satu bulan..." Mas Danu menjawab dengan bersalah dan kembali menatapku, "Maafkan Mas, Dek..."

Aku mengangguk. Tidak bisa memilih kata yang lebih tepat lagi. Aku memilih bangun dari dudukku dan berjalan ke kamar. Menguncinya. Menangis sepuasnya.

...

Ibu dan Bapak sudah pulang. Aku tidak tahu bagaimana keluarga suamiku pulang. Yang aku temukan hanya Mas Danu yang sedang duduk di ruang makan dengan satu cangkir kopi dan juga kacamatanya.

"Mas..." panggilku dengan lemah dan mengambil kursi di sampingnya

Dia diam. Tapi ketika aku akan bicara Mas Danu menyela dengan cepat seperti tahu apa yang akan aku katakan. "Mas gak akan ceraikan kamu. Mas minta maaf ya..."

Aku terdiam. Genggaman tangan Mas Danu semakin erat. "Mas kenal dimana?"

Akhirnya percakapan itu dimulai dengan Mas Danu yang menceritakan awal mula pertemuannya dengan gadis yang aku ketahui bernama Samira. Anak itu gadis kuliahan yang sempat tidak sengaja Mas Danu temui ketika istri kedua suamiku ini magang di kantornya sebagai front office. Mereka sudah cukup lama menjalin hubungan, tapi tidak dalam sampai tahap menikah siri.

Sampai dua bulan yang lalu, akhirnya Mas Danu menikah diam-diam dan seperti yang sudah terjadi. Samira hamil. Tentu saja berita membahagiakan ini langsung sampai ke kuping ibu mertuaku dan meminta agar Samira dijadikan istri sah dan resmi Mas Danu menggantikan aku.

Tapi Mas Danu menolaknya, aku tidak mau bertanya kenapa karena aku yakin Mas Danu hanya kasihan kepadaku yang sudah tidak punya siapa-siapa ini.

"Jadi selama beberapa minggu ini kalian sibuk mempersiapkan pernikahan tanpa aku?"

Mas Danu mengangguk. "Maaf..."

Aku juga mengangguk sebagai balasan. "Ya, sudah. Mau bagaimana lagi? Aku marah sih, Mas. Kecewa. Tapi aku bisa apa? Mas juga pasti menginginkan anak, kan?"

"Makanya Mas---"

Aku tidak memberikan kesempatan lagi untuk bicara. "Terus gimana mas mau atur waktu buat istri muda sama tua?"

Mas Danu hanya tertawa dengan sumbang lalu kembali menatapku, "Karena Samira sedang hamil, Mas akan tinggal sana sampai melahirkan. Sementara ini kamu sendirian..."

Sudah aku duga. "Iya..."

"Dek ingat ya..." Mas Danu mengambil telapak tanganku dengan lembut. Dia tersenyum seolah menguatkan aku. "Mas tetap sayang sama kamu. Kalian sama saja buat Mas..."

Aku melepaskan genggaman tangannya. "Iya. Sudah, Mas. Apa Mas mau pulang ke rumah Samira?"

Dia meringis. Sepertinya iya. "Mas sudah beli rumah sekitar tiga puluh menit dari sini. Mas di sana sama Samira. Kamu kenalan sama dia, ya?"

Jujur saja, aku tidak mau. "Maaf, Mas. Tapi Aku belum siap. Maaf ya, Mas. Ini semua terlalu mendadak..." aku menahan tangisku lagi dan membekap mulutku, "Tapi aku minta maaf, Mas. Seandainya kita punya anak---"

Ucapanku terhenti dengan Mas Danu yang memelukku. Aku tidak bisa berhenti menangis berada di dalam pelukannya.

Satu minggu lagi, suamiku bukan hanya untuk aku. Dan beberapa bulan lagi, dia akan menjadi ayah tapi bukan anak dari rahimku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku hanya bisa menangis dengan sesenggukkan memeluknya.

IPWhere stories live. Discover now