Louis Frankie Smith, anak tunggal dari pengusaha properti berdarah Amerika-Indonesia, jatuh cinta pada Arletta Maysha Charlos, seorang gadis beriris pekat. Meski hubungan mereka sudah terjalin selama tiga bulan, Arletta belum juga mencintai Louis-ba...
Jarum jam telah menunjukkan pukul satu dini hari, hujan di luar sana juga mulai reda. Baru hendak memegang gagang pintu kamarnya, seorang pemuda beriris biru datang dengan kondisi setengah sadar.
Mata indahnya tampak kemerahan, rambut yang biasa rapi kini terlihat berantakan, kemeja putih yang ia kenakan tampak lusuh, hingga bau alkohol menyeruak dari tubuhnya. Michele menghampiri Louis, dia memapah tubuh kekar itu yang tak lagi bisa berjalan tegap.
“What's wrong with you, Louis? How did you come to this?” Raut khawatir tidak lagi bisa Michele pungkiri. “This is all because of you!” sentak Louis tiba-tiba marah.
Louis menggeret paksa Michele masuk ke kamar, kemudian dia membanting tubuh mungil Michele di atas kasur. Michele menatap Louis penuh ketakutan, dia berusaha untuk pergi tapi Louis terlebih dahulu menahannya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Michele, melawan pun percuma karena tenaga Louis jauh lebih besar.
Malam itu, seluruh dunia Michele hancur sepenuhnya. Dia tidak bisa lagi merasakan tubuhnya, hanya rasa sakit sampai terasa kebas. Jiwanya seakan meninggalkan raganya malam itu, buliran likuid bening yang terus mengalir seakan menjadi pembicara hati.
Tubuh mungil Michele berada di bawah kungkungan tubuh kekar Louis. Tidak peduli seberapa keras Michele berteriak dan memberontak, laki-laki itu tanpa belas kasih merebut hal paling berharga yang selama ini Michele jaga.
“Apakah setelah ini aku masih akan mencintaimu?” lirih Michele sebelum gelap menyapa indra penglihatannya.
ִֶָ 𓂃˖˳·˖ ִֶָ ⋆۫ ꣑ৎ⋆ ִֶָ˖·˳˖𓂃 ִֶָ
Di sisi lain, arunika terlebih dahulu menyapa negeri kangguru. Sinarnya membuat kelopak mata wanodya laksmi itu perlahan terbuka. Tangan kirinya meraba-raba nakas di samping ranjang, sesekali ia masih memejamkan mata dan berusaha membuka sepenuhnya.
Rasa malas membuatnya enggan beranjak dari kasur, dia memejamkan matanya sejenak dengan ponsel yang berada dalam dekapannya. Lima menit kemudian, dia kembali membuka mata indahnya, dengan lihat jemarinya menari di atas layar benda pipih berlogo apel tergigit itu.
Aplikasi pertama yang Arletta buka adalah aplikasi berbagi pesan, dia mendesah kesal saat room chat teratas miliknya tidak ada notifikasi baru. Arletta membuang ponselnya asal, dia kembali memejamkan mata tidak berniat membalas pesan dari notifikasi lain.
“Kenapa perasaanku gak enak? Apa Michele baik-baik saja?” desisnya kesal.
Rasa kantuknya telah hilang membuat kaki jenjang milik Arletta berjalan malas menuju kamar mandi. Setelah satu jam kemudian Arletta keluar dari walk in closet mengenakan Dior Mid-Length Blazer Dress. Hari ini adalah minggu keduanya di negeri kangguru, dia tampak telah menyesuaikan diri.
“Good morning, Miss,” sapa Matilda saat mendapati Arletta baru saja turun dari kamarnya.
“Morning.” Wanita yang telah berkepala empat itu tersenyum hangat ke arahnya. “Would you like breakfast now?” tawar Matilda.
“I'd like to have breakfast in the back garden, please bring my canvas and painting tools as well. I want to paint before Mr. Paul arrives,” pinta Arletta.
“Of course, Miss. Is there anything else you need?” Arletta menggeleng pelan.
Kaki jenjang milik Arletta melangkah santai menuju taman belakang. Rerumputan hijau dengan kolam renang besar menyambut Arletta. Gadis itu duduk di salah kursi, dua orang pelayan datang membawa kanvas serta kuas dan cat airnya. Dia memiliki waktu satu jam sebelum Mr. Paul datang untuk memberikan bimbingan belajar.
Meski dia berada di Australia ternyata Cassandra tetap memberinya tutor pribadi. Sudah dua minggu dia berada di sini, tapi Arletta tidak memiliki waktu untuk berkeliling atau sekedar bernostalgia karena sudah tiga tahun dia tidak pernah kembali ke Australia. Jadwalnya sangat padat, Cassandra benar-benar tidak memberinya waktu senggang.
Baru saja dia menorehkan kuas, Matilda datang dengan seorang pelayan yang membawa sarapannya. Mereka melayani Arletta dengan baik, meski gadis itu jarang berekspresi. “Enjoy your meal, Miss.”
Arletta menikmati makanannya dengan tenang. Setelah selesai, Matilda dan seorang pelayan bergegas membereskan piringnya. “Matilda, is Nathaniel not home?” tanya Arletta karena tidak melihat Nathaniel pagi ini.
“Young Master Nathaniel is out jogging; he should be back soon,” balas Matilda.
Arletta mengangguk singkat, setelah itu Matilda memberikan sebuah kotak berwarna hitam untuk Arletta. “Yesterday a courier delivered this. He said it was for you, Miss. I'm sorry I forgot to give it to you,” ujar Matilda.
Kedua alis Arletta menyatu, dia merasa tidak pesan sesuatu. “Oh, it's okay. Thank you.”
“Well then, I'll take my leave. If you need anything, just call for me,” pamit Matilda.
Sepeninggal Matilda, Arletta membuka kotak hitam tersebut. Isi kotak itu ternyata ancaman yang berisi agar dia berhenti menyelidiki kasus kematian Nelie.
‘Stop or you will be the next victim’
Secarik kertas yang ditulis dengan tinta merah itu tak membuat takut dalam diri Arletta. Gadis itu hanya menghela nafas pelan dan kemudian memotretnya dengan santai. Ini adalah ancaman teror yang dia dapatkan untuk kedua kalinya, tapi hal itu tak lantas membuat Arletta mundur.
Senyum miring terbit di paras ayu Arletta. “Aku tahu siapa pelakunya.”
𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.