23~Sebuah Awal Buruk~

Mulai dari awal
                                    

Ia meringis pelan menatap Riana yang menunduk menyamai tingginya, "Mata ku masih susah kebuka aunty, tenggorokan udah seret banget. Jadinya pengen cepet ambil minum tapi malahan kebentur ini!" Ia memukul keras pintu kulkas.

Gadis itu memakai baju tidur berwarna pink dengan gambar marsha and the bear, serta tidak lupa memakai sendal berkelapa boneka kelinci.

"Udah sayang. Makanya lain kali hati-hati dan kalo masih susah kebuka kamu gunain tangan untuk raba sekitarmu." Jelas Riana

"Okay aunty."

**

Key mengetuk dagunya memerhatikan Julian dan Olyn dari bangkunya. Mereka terlihat sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ia pun mendekati Olyn yang berjarak dua langkah, memilih duduk di bangku depan.

"Tumben Lyn gak teriak di pagi bolong gini." Ia melirik sebentar Julian yang sepertinya

Gadis itu menghentikan menulis catatan biologinya. Menatap Key dengan kening mengkerut, "Ngapain gue teriak gak jelas gitu Key. Aneh lo," Olyn segera kembali menyalin catatan salah satu temannya.

"Ya kali aja Lyn. Biasanya 'kan elo paling anti kalo udah diusilin si Julian dan untung lo gak sampe kejang-kejang." Key terkekeh pelan.

Olyn berdecak kesal, "Jangan mulai deh Key." Balas Olyn. "Dia lagi adem dan gue sangat senang untuk hal itu," Lanjutnya.

"Tapi itu yang buat gue heran." Ucapnya cepat.

Olyn mulai tertarik dengan ucapan Key, "Maksud elo?"

"Lo perhatiin aja. Dia itu kayak sedang ngelamunin sesuatu dan pastinya sangat penting yang sampai sekarang mengusik pikirannya." Jelasnya memberikan pandangan ke Julian agar Olyn memerhatikannya.

Gadis itu mengeluarkan kaca kecil yang sering dibawanya. Memfokuskan arah kaca agar dapat terlihat wajah Julian.

Benar. Pria itu sedang menatap jauh keluar jendela kelas. Entahlah apa yang sedang dipikirkan pria itu.

Suara pengumuman di kelas mengusik telinga mereka. Nama Julian disebut dalam mikrofon yang bersumber dari ruang tata usaha. Pria itu segera berdiri menuju ruang kepala sekolah.

Joshua kebetulan berpapasan dengan Julian yang baru keluar dari ruang OSIS sambil menggenggam map coklat, memanggilnya sebentar, "Kenapa wajah lo ditekuk gitu, galau?"

"Iya. Lagi mikirin utang," Balasnya langsung melengos menuju ruang kepala sekolah di gedung berbeda.

.

.

.

"Permisi Pak,"

Julian mengetuk pelan pintu ruangan saat melihat lelaki itu sedang berbicara dengan siswa nya.

Mereka berdua menoleh dan Julian sedikit kaget melihat Mauza di sana. Ternyata pria itu telah kembali dari Singapura.

"Silakan masuk Julian,"

Ia pun tersenyum setelah Kepala Sekolah menyuruhnya duduk tanpa mau menoleh ke arah Mauza. Jari-jarinya ia tautkan di atas pahanya mencoba santai.

Lelaki berkepala pelontos itu tersenyum sebentar pada Mauza lalu menatap Julian hangat, "Sebelumnya kamu bisa kasih Mauza ucapan selamat Julian. Karena berkat dia sekolah kita menyabet juara satu, debat skala internasional di Singapura."

Julian tidak perlu kaget mendengar penjelasan tersebut. Semua sudah ia duga, dan kemungkinan terbesar fakta itu akan ber-efek pada dirinya. Seperti sekarang. Seharusnya ucapan selamat itu ditujukan untuknya, sama seperti tahun sebelumnya. Dalam semester ini pun Julian telah membawa harum nama salah satu sekolah negeri favorit di Jakarta ini. Mengantarkan pada peningkatan akreditasi sekolah yang semakin eksis, selain ditunjang oleh faktor lain.

"Gue turut senang untuk keberhasilan elo, selamat."

Pria itu tersenyum manis menutupi rasa kecewanya sambil mengulurkan tangan pada Mauza, dan disambutnya. "Terima kasih Julian," Balasnya tersenyum senang.

"Baiklah Julian," Lelaki tua itu menarik napasnya pelan seraya membenarkan letak kacamata. "Saya kembali mengulang bahwa saya sangat minta maaf karena telah menggantikan Mauza untuk maju debat. Itu pun secara mendadak tanpa ada kontak langsung di antara kita." Ucapnya masih merasa bersalah.

"Bapak tidak perlu meminta maaf kepada saya. Kalau ini yang terbaik untuk sekolah kita, kenapa tidak mendaftarkan siswa yang lebih berpengalaman dari saya." Jelasnya tersenyum tipis.

Rasanya ia ingin cepat keluar dari ruangan yang semakin berkurang oksigen disekitarnya. Ia tidak ingin terus membahas hal yang bahkan ingin ia lupakan. Tapi semuanya terasa susah apalagi mengetahui orang yang membuatnya seperti ini adalah Athafariz Mauza Abrisam. Selalu saja seperti ini.

"Saya senang kalau kamu sudah memaafkan saya." Balasnya senang. "Sebenarnya ada hal lain yang ingin saya katakan pada mu." Lanjutnya.

Julian mengernyit, "Apa itu Pak?"

"Hasil karya ilmiah mu akan saya ikutkan pada lomba yang akan diadakan di Kampus ITB bulan depan." Ungkapnya membuat Julian tersenyum senang.

"Benar, Pak?"

"Iya. Saya merasa kamu sangat pantas mengikuti lomba ini, sekaligus mengasah lagi kemampuanmu dalam penulisan karya ilmiah lainnya."

Julian merasa sangat bersyukur masih diberi kepercayaan oleh Kepala Sekolah untuk tetap ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Ia juga berterima kasih pada-Nya atas doa yang selalu ia panjatkan, dan akhirnya terkabul.

Dirinya harus bertekad lebih di depan daripada Mauza. Dulu ia tidak ada apa-apanya dibanding Mauza. Tapi itu dulu. Sekarang akan ia buktikan kalau Mauza bisa ia kalahkan.

"Semoga lomba ini diberkahi oleh Allah," Tutur Mauza dan diamini Julian.

**

"Sukses selalu buat elo Julian,"

Mereka berjalan bersamaan keluar dari ruang Kepala Sekolah. Mauza menghentikan jalannya saat pria di sampingnya berhenti.

Julian menatapnya datar, "Lo gak ada niat untuk balik ke Finlandia?"

Mauza terkesiap mendapati pertanyaan dari Julian yang bukannya membalas ucapannya. Tapi ia tetap menjawabnya, "Insya Allah gak. Gue bakal menetap di Indonesia, terutama biar Ibu ada yang rawat."

"Lo bisa ajak Ibu elo tinggal di sana." Timpal Julian santai.

Hal itu membuat Mauza merasa aneh dengan Julian. Ia merasa orang di sampingnya bukan teman semasa di putih biru. "Elo kenapa kayak gak suka sama gue Julian? Apa ada ucapan gue yang bikin hati elo sakit."

Bukan! Bukan ucapan elo, melainkan sikap polos elo yang bikin hati gue sakit. Sampe Oli pun mulai teralihkan ke elo. Lo mungkin orang pertama yang memasuki hati Oli, tapi gue orang pertama yang kenal dia.

Julian tersenyum miring, "Gue rasa elo gak bodoh untuk mengerti bahasa tubuh gue."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut ia meninggalkan Mauza yang termenung menatap kepergiannya.

Dari jauh Eva dan kedua sahabatnya melihat hal tersebut yang membuat mereka penasaran.

Eva melipat tangannya di dada, "Ada sesuatu di antara mereka dan gue harus tau." Ucapnya memandang Mauza yang berjalan lambat sambil menatap punggung Julian dari jarak jauh.

"Iya. Gue juga merasa Olyn ada kaitannya di antara mereka." Timpal Theresa

"Gue setuju!" Seru Vinka menatap Eva yang berdiri di tengah mereka. "Lo tau 'kan Va, kalo Julian selalu cari perhatian dengan Olyn. Liat aja, tatapan dia ke Olyn sama seperti tatapan anak pindahan Finlandia buat itu cewek." Jelasnya.

"Kesimpulannya, mereka menyukai orang yang sama." Sambung Theresa membuat Eva mendapatkan sebuah pencerahan.

Senyum jahat terukir di wajah tirusnya, "Kalo gitu kita harus cari tau akar dari permasalahan mereka kemudian akan gue buat hal tersebut menguntungkan bagi gue," Jelasnya merasa puas dengan deretan rencana yang masuk di otaknya silih berganti.

**

Follow IG: jasmineeal

SOMPLAK PLUS GESREK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang