Epilog

4.6K 245 113
                                    

Karevan terlonjak kaget. Ia terdiam dengan posisi duduk. Napas laki-laki itu tampak tak teratur, pun tangannya yang memegang dada sebelah kiri. Sambil menelan ludah guna membasahi tenggorokannya yang tercekat, ia menatap jam dinding di atas televisi yang menempel pada tembok. Sejenak, diusapkan wajah menggunakan kedua telapak tangan dengan kasar. Kepala Karevan pening bukan main mengingat peristiwa yang baru ia alami. Tanpa pikir panjang lagi, sesegara mungkin ia beranjak ke dalam kamar mandi. Cuma mencuci wajah lalu keluar untuk mengenakan baju hitam polos potongan selengan, tanpa mengganti celana tentunya.

Mengambil kunci di atas meja belajar, Karevan bergegas turun ke bawah. Mengabaikan panggilan Audi dan Reyno yang mengajak sarapan pagi.

Mobil Karevan berpacu cepat dari ukuran standar di jalan raya. Dadanya tak henti-henti berdesir. Setelah sampai, buru-buru ia memarkirkan kendaraanya. Tak peduli dimana. Yang cuma ia lakukan sekarang adalah berlari sekencang-kencangnya ke tempat yang ia tuju.

Karevan kalut. Perasaanya tak dapat ia gambarkan. Apalagi ketika hendak membuka pintu putih yang ia cari-cari. Ya Tuhan... keadaan sekarang ini memanglah keadaan yang sesungguhnya. Dengan cepat, ia melangkah mendekat. Tubuhnya bergetar tanpa bisa dikendalikan.

"Sayang..."

Dipeluknya erat tubuh terbungkus baju biru itu. Air mata Karevan mengalir, begitupun sang lawan jenis. Mereka menyalurkan rindu lewat tangis yang kini menggema.

"Ini beneran kamu?" Tanya Karevan menatap mata yang paling indah itu.

Sebuah anggukan.

"Punyanya Karevan?"

Sebuah anggukan lagi.

"Ya Tuhan.." dipeluknya kembali tubuh tersebut. Aldi yang berdiri di samping brankar sampai meringis melihat yang dipeluk kesulitan bernapas. Biarlah, Karevan benar-benar merasakan sesuatu yang melegakan lahir maupun batinnya. Setelah puas, ia berjongkok dengan tangan memegang jari-jemari milik seseorang yang duduk di atas kursi roda tersebut. "Maaf.. maaf," katanya penuh penyesalan.

Diusapnya kepala Karevan seraya menggeleng. "K-kakak nggak salah.." katanya berusaha tersenyum diantara keharuan. "Ini beneran Kak Karev? Aku kangen. Ak-aku.. ak--" ucapnya tak tuntas sebab air mata makin menggebu ingin dikeluarkan.

Karevan mendongak tanpa bergerak sedikitpun dari posisi awal. Dikecupnya berulang kali pelipis gadis itu. Kemudian berganti pada puncak kepalanya. Bukannya malah tenang, Rachel jadi semakin terisak. Gadis tersebut melingkarkan tangannya erat-erat pada tubuh Karevan. Pun, wajahnya ia tekan kuat-kuat pada bahu cowok itu. Meyakinkan diri bahwa yang tengah ia peluk benar-benar sang kekasih, lewat aromanya yang begitu Rachel hapal.

"Aku banyak salah, gampang kemakan ucapan orang dan susah percaya sama kamu. Sumpah, aku minta maaf, Chel..." katanya berbisik di telinga Rachel, secara berulang-ulang dengan bibir tak berhenti mengecup pipi, mata, pelipis, serta bagian kepala gadis tersebut. "Jangan nangis..."

"R-rachel seneng," katanya serak. "Rachel seneng Kak Karev dateng.."

"Terimakasih," kata Karevan dengan menangkup wajah Rachel. "Terimakasih sudah mau bertahan, terimakasih untuk ketabahannya, terimakasih untuk kesediannya menerima aku lagi. Janji, setelah ini, nggak akan ada Karevan yang brengsek, bodoh, dan menyia-nyiakan kamu."

Rachel tersenyum dengan kepala mengangguk, begitu mudah mempercayai Karevan. Bukan tanpa sebab, karna ia yakin tak akan pernah ada yang namanya niatan buruk.

"Aku sayang Kakak."

Karevan tersenyum, mengecup lama punggung tangan Rachel seraya bergumam. "Aku lebih sayang kamu, demi Tuhan."

Rachel menangis, ia benar-benar terharu.

"Jadi pengen," celetuk Angel melihat kedua insan di hadapannya tengah berpelukan. Ia mengusap mata karna sempat terbawa suasana. "Al!"

Yang dipanggil langsung menoleh, setelah sebelumnya cuma bisa terdiam merasakan dua hal berbeda; pertama, lega karna Rachel kembali dipertemukan dengan kebahagianya. Kedua, sakit karna harapan untuk ia terus bersama Rachel, makin menipis. Bahkan bisa dikatakan sudah tak ada lagi.

"Mau peluk," lanjut Angel manja menghampiri Aldi di sebrang brankar.

"Jomblo sih," cibirnya membuat Angel manyun. "Sini, cepet," katanya yang kemudian ditabrak Angel dengan semangat. Aldi terkekeh, setidaknya ia punya Angel untuk tersenyum. Dirangkulnya erat gadis itu seraya berkata. "Manjanya kesayangan gue."

"Sayang lo juga,"

"Ya, mau," Nea pun ikut-ikutan memeluk Ari, yang posisinya paling dekat dengan dirinya. "Gue juga bisa, Ngel!" Katanya tak mau kalah.

"Woi, kecebong!" Faisal berteriak. Wajahnya bersungut-sungut. "Yang pacar lo siapa yang dipeluk siapa. Emang laknat!"

Mereka semua tertawa, sementara Karevan menatap Rachel dalam-dalam karna merindukan wajah tanpa bebannya itu. Sejenak, Karevan bersyukur. Bersyukur karna kepergian Rachel yang seolah-olah nyata, hanyalah bunga tidur. Mungkin, beginilah cara Tuhan mengingatkan ia yang terlalu kelewatan. Dan Karevan bersumpah, ia tak akan lagi menyia-nyiakan Rachel.

"P-permisi.."

Kontan, semua mata tertuju pada seseorang yang ada di ambang pintu. Wajah mereka langsung berubah tatkala mengetahui sosok tersebut. Sosok..

🥀

A/n: Ketipu cieee😆

Lunas sudah epilognya. Gimana? Ending yang berbeda bukan?

Terimakasih banyak untuk para pembaca yang setia atas komentar-komentar disetiap chapter. Tanpa kalian, cerita ini tidak akan sampai dititik akhir. Sekali lagi, terimakasih.

OH YA, TOLONG KASIH KESAN KALIAN DARI AWAL BACA EPILOG SAMPAI SINI DONG😢

Kalian bisa baca cerita aku yang judulnya "NAKALA", sebagai ganti Rachel.

Btw,

Kalian mau:

🥀 Ekstra Chapter

Atau

🥀 Sequel

Rencana mau bikin cerita Angel-Aldi atau Nea-Faisal sih. Tapi..

Beri aku saran, dong:(

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang