Kertas XXXIII

2.5K 177 54
                                    

Aldi buru-buru melangkahkan kakinya keluar kelas setelah berhasil membujuk Fey agar mengundurkan acara kerja kelompok mereka. Aldi harus menjenguk Rachel, itu kegiatan paling penting untuk sekarang.

Koridor masih ramai, Aldi menembus satu-per-satu gerombolan yang coba menghalangi langkahnya. Aldi terburu-buru, siapa tahu ia bisa menerima kabar baik soal perkembangan Rachel yang masih saja asik tertidur.

"Di!"

Aldi menghentikan langkahnya saat Audrey menghadang dengan kedua tangan direntangkan. Aldi berdecak. "Gue nggak ada waktu, minggir!"

Audrey menggeleng. "Di, tapi aku mau ngomong sama kamu. Dengerin aku dulu. Plis, ini soal--"

"Cinta lo yang masih ada dan nggak pernah mau hilang, gitu?" Aldi memotong. "Udah deh, ada hal yang lebih penting buat gue dari sekedar bahas hal yang sama berulang kali!"

Aldi melangkah ke kiri, dihadang Audrey. Ke kanan, di hadang juga. Ke kiri lagi, dihadang. Ke kakan, juga dihadang. "Drey, Rachel butuh gue, jangan bikin gue berkata kasar sama lo!"

"Kenapa nggak mau kasarin aku? Berarti kamu masih sayang 'kan sama aku, Di? Yaudah, kita balikan!" Audrey berkata dengan senyum terangkat.

Aldi mengusap kasar wajahnya, sudah sangat-sangat lelah dengan kekeras kepalaan gadis di hadapannya ini. "Lo nggak ngerti?! Denger ya, Drey. Gue, dalam hidup ini punya prinsip. Gue rasa lo tahu, apa gue harus ucapin lagi?" Aldi memajukan langkahnya, mendekat ke arah Audrey, bahkan sangat dekat. Tubuh mereka hanya berjarak satu jengkal saja, Audrey kembali bergetar hatinya. Pasalnya, ia sudah lama tidak berdekatan seperti ini dengan Aldi. "Kalau hati gue pernah dipatahin, sampai kapanpun juga gue nggak bakalan mau balik lagi sama si pelakunya. Artinya, jangan pernah harapin gue lagi. Mau lo nangis darah, gue nggak bakalan mau sama lo. Gue nggak suka ngulang kisah yang sama sementara sakit yang kemarin masih ada!"

Audrey terpaku saat Aldi berlalu begitu saja. Dadanya perlahan-lahan retak. Audrey mendudukkan diri di bangku panjang koridor, bahkan untuk menopang berat tubuhnya saja ia tidak bisa. Dunia seperti berputar begitu saja. Audrey menggeleng, tangannya mengepal sementara air mata mulai turun. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini.

"Itu orang yang lo cinta setengah mati?" Tanya sebuah suara. Audrey mendongak. Buru-buru ia menghapus air matanya sambil berdiri.

"Gue yakin dia masih cinta sama gue," balas Audrey serak. "Tunggu aja, dia bakalan balik ke gue dengan sendirinya."

"Kenapa lo masih mengharapkan dia?! Disini gue yang jadi korban utama cinta lo itu, Drey! Apa lo nggak punya sendikit rasa iba dan niatan balik ke gue?!" Dion geram, ia udah melakukan apapun demi memperjuangkan Audrey, apa ini balasannya?

"Lo ngomong apa sih?"

"Lo ini yang kenapa, Drey? Kurangnya gue apa? Selama ini gue udah coba ngelakuin apapun buat lo, termasuk ikut campur ke rencana konyol kalian, apa itu masih kurang buat lo bisa jatuh ke pelukan gue lagi?!"

"Katanya lo cinta sama gue?! Ya lo harus ngalah dong, demi kebahagiaan gue!" Audrey berkata sarkastik. "Gue cintanya sama Didi, Dion! Lo ngerti nggak sih?! GUE, CINTANYA, CUMA, SAMA, DIDI!"

Audrey berlari meninggalkan Dion, matanya basah lagi. Ia begitu frustasi. Yang cuma ia rasakan adalah kesakitan, dimana ia telah berjuang, tapi tak sama sekali membuahkan hasil.

"Sori," Audrey tidak berani menatap seseorang yang dadanya tadi ia tabrak karna berlari semrawutan.

"Iya, nggak papa kok."

Audrey mendongak saat mendengar suara tak asing tersebut. Cowok berprawakan tinggi itu merubah rautnya menjadi khawatir saat menatap mata Audrey yang sembab. Audrey buru-buru berhamburan memeluk tubuh dihadapannya itu, Audrey butuh ketenangan. Butuh sekali.

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang