Kertas VI

4.7K 264 25
                                    

"Aduh, pelan-pelan!" Pekik Angel saat disuruh lebih cepat berjalan oleh Nea. Ia diseret, bagaimana tidak marah? "Walaupun jatuhnya udah lusa kemarin, tapi ini masih perih! Nea, ih!"

"Halah," Nea mengibaskan tangannya. Bukannya merasa bersalah, ia malah mendengus. Menampilkan wajah lebih galak dari Angel. "Udah kayak yang luka parah aja. Padahal mah cuma gitu doang. Buru, deh!"

"Heh!" Angel mendesis. "Coba kalau lo jatuh terus itu dengkul natap ke tangga yang tajem, gimana?! Paling-paling nangis alay ke Faisal. Gaya bener nasihatin orang."

Nea mendengus. "Lagian kenapa bisa sampai jatuh sih?" tanyanya mencoba kalem.

"Kepleset."

"Terus kenapa waktu itu nggak suruh kita-kita samperin? Tahu-tahu aja tasnya hilang setelah gue dan yang lainnya balik dari kantin. Disamperin pun, ternyata udah kosong UKS. Siapa yang bawa lo pulang?"

"Ha?" Angel berdehem sebentar untuk tetap terlihat biasa saja. "Pak Retno." Yang diketahui adalah penjaga Unit Kesehatan Sekolah Harapan Bangsa. "Ah, udah, ah. Ngapain juga bahas itu."

Mereka sampai di kelas. Ada dua orang yang kedatangannya selalu paling pagi di kelas IPA III ini. Kalau tidak Rachel, ya Michelle. Angel dan Nea pun mendekatkan diri pada dua siswi yang sedang bercengkrama tersebut.

"Tumben nggak bareng Faisal?" Tanya Rachel saat Nea sudah duduk di bangku Reon, teman semeja Angel, yang posisinya tepat dihadapan Rachel. "Kenapa?"

"Lagi pengen bareng Ibu," jawab Nea. Ya, Bu Darsih, pengajar guru Kimia di Harapan Bangsa adalah Ibunda Nea.

Rachel mengangguk kemudian terdengarlah suara ketukan pintu. Mereka semua menoleh untuk melihat Audrey yang berdiri dengan tangan melambai ceria.

"Masuk, Drey!" Titah Michelle girang. Audrey mengangguk kemudian melangkahkan kakinya ke dalam kelas. Menarik bangku, lalu digeser untuk duduk dekat dengan Rachel.

"Nggak papa 'kan gue di sini?" Kata Audrey sedikit cemas, takut kalau kehadirannya mengganggu. "Kalian 'kan tahu sendiri kalau gue nggak punya temen di kelas."

"Ya nggak papa lah, Drey," sahut Angel mewakili, sama sekali tidak keberatan. "Main-main aja ke sini kalau lo bosen. Santai aja kalau sama kita mah."

Nea mengangguk membenarkan. "Emang lo kenapa sih sampai nggak punya temen di kelas? Buat masalah? Atau.. lo sering dibully, ya?"

Audrey menggeleng, presepsi Nea tidak benar. "Nggak tahu. Sebulan ini, dari MOS, gue masih susah aja interaksi sama mereka. Ya, walaupun masih ngebales sih ketika diajak ngobrol. Dan nggak tahu kenapa, sama Michelle dan kalian, gue terbuka aja gitu. Gue kayak ngerasa, emang kalian yang bakalan jadi temen-temen gue."

Mereka semua tertawa, kecuali Audrey yang merenggut. "Seriusan ini. Gimana ya.., duh, kalian pasti paham lah sama apa yang gue maksud tadi." Dan Angel mengangguk sebagai respon. "Gue harap, kita bisa berteman dengan baik, ya. Karna kayak gini aja, gue udah nyaman banget sama lo semua. Tuh, 'kan, gue jadi bawel. Biasanya nggak gini nih. Sumpah!"

Nea terkekeh. "Lo belum tahu aja kalau kita sahabatan nggak cuma berempat, tapi bertujuh."

"Ah, demi apa?" Audrey menampilkan raut tak percayanya. "Masa sih?"

"Iya, Drey, emang bener." Kali ini Rachel yang bersuara. "Ada tiga cowok lagi."

"Ih, pasti seru banget ya kalian," kira Audrey dengan kilat berseri-seri. "Secara 'kan, sahabatan sama cowok rame-rame gini jarang."

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang